Muamalah, Kajian Tentang Hibah
Hibah
1. PENGERTIAN HIBAH
Hibah, huruf haa’ dikasrah dan baa’ difathah, adalah pemberian seseorang akan hartanya kepada orang lain di masa hidupnya dengan cuma-cuma, tanpa imbalan.
2. DORONGAN MELAKUKAN HIBAH
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Wahai para wanita muslim, janganlah sekali-kali seorang tetangga perempuan merasa hina memberikan kepada tetangganya yang perempuan, walaupun sekedar ujung kuku kambing.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 197 no: 2566 dan Muslim II: 714 no: 1030).
Juga darinya (Abu Hurairah ra), bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Saling memberi hadiahlah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (Hasan: Shahibul Jami’us Shaghir no: 3004 dan Irwa-ul Ghalil 1601, Baihaqi VI: 169).
3. MENERIMA HIBAH (PEMBERIAN) YANG SEDIKIT
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Kalau aku diundang untuk menghadiri jamuan satu lengan (kambing), niscaya kuterima.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 5268 dan Fathul Bari V: 199 no: 2568).
4. HADIAH YANG TIDAK BOLEH DITOLAK
Dari ‘Azrah bin Tsabit al-Anshari, ia berkata, ”Saya pernah datang menemui Tsumamah bin Abdullah, lalu ia memberi minyak wangi kepadaku. Ia berkata, “Adalah Anas ra tidak pernah menolak (hadiah) minyak wangi dan dari Anas bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah menolak (hadiah) minyak wangi.” (Shahih: Shahihul Tirmidzi no: 2240, Fathul Bari V: 209 no: 2582 dan Tirmidzi IV: 195 no: 2941).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga hal yang pemberiannya tidak boleh ditolak: (pertama) sandaran (bantal), (kedua) minyak wangi, dan (ketiga) susu.” (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 2241, dan Tirmidzi IV: 199 no: 2942).
5. MEMBALAS HIBAH
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menerima hadiah dan biasa membalasnya.” (Shahih: Fathul Bari V: 210 no: 2585, ’Aunul Ma’bud IX: 451 no: 3519 dan Tirmidzi III: 227 no: 2019).
6. ORANG YANG PALING UTAMA MENERIMA HADIAH
Dari Aisyah ra, ia berkata: Saya pernah bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai dua tetangga, lalu yang manakah yang kuberikan hadiah?” Jawab Beliau, “Yang pintunya lebih dekat kepadamu di antara mereka berdua.” (Shahih: Fathul Bari V: 219 no: 2595 dan ’Aunul Ma’bud XIV: 63 no: 5133).
Dari Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas, bahwa Maimunah binti al-Harits menginformasikan kepadanya bahwa ia (Maimunah) pernah memerdekakan seorang budak perempuan yang dihamili tuannya tanpa seizin Nabi saw. Kemudian tatkala tiba hari yang menjadi gilirannya (Maimunah bin al-Harits) maka ia berkata, ”Ya Rasulullah, tidaklah engkau tahu bahwa saya telah memerdekakan budak perempuanku.” Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kalau engkau berikan ia kepada paman-pamanmu, niscaya pahalamu lebih besar.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 217 no: 2592, Muslim II: 694 no: 999, ‘Aunul Ma’bud V: 109 no: 1674).
7. PENGHARAMAN SIKAP MENGUTAMAKAN SEBAGIAN ANAK DALAM HAL HIBAH
Dari Nu’man bin Basyir ia berkata: Ayahku pernah menshadaqahkan sebagian hartanya kepadaku. Kemudian Ibuku, ’Amrah binti Rawahah ra menyatakan, ”Aku tidak ridha (terhadap shadaqah ini) hingga engkau mempersaksikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.” Kemudian ayahku berangkat menemui Rasulullah saw untuk mempersaksikan shadaqah yang kuterima ini kepadanya. Maka, Rasulullah bertanya kepada ayahku: “Apakah engkau lakukan hal ini terhadap seluruh anakmu?” Jawabnya, “Tidak.” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallambersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” Kemudian ayahku kembali (pulang), lalu dia membatalkan shadaqah itu. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallambersabda, “Maka kalau begitu janganlah engkau menjadikan diriku sebagai saksi; karena sesungguhnya aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan yang sewenang-wenang.” Dalam riwayat yang lain (lagi) disebutkan bahwa Beliau bertanya, “Apakah kamu merasa senang apabila mereka (anak-anakmu) itu sama-sama bakti kepadamu?” Dijawab, “Ya, tentu.” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallambersabda, “Maka kalau begitu, janganlah (kamu bersikap pilih kasih).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 211 no: 2587, Muslim III: 1241 1623, ’Aunul Ma’bud IX: 457 no: 3525).
8. TIDAK HALAL SESEORANG MENGAMBIL KEMBALI PEMBERIANNYA DAN TIDAK PULA MEMBELINYA
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Bagi kita tidak ada perumpamaan yang lebih buruk (lagi) daripada orang yang mengambil kembali pemberiannya, seperti anjing yang menelan kembali muntahnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 234 no: 2622 dan ini lafadz bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1240 no: 1622, ’Aunul Ma’bud IX: 454 no: 3521, Tirmidzi II: 383 no: 1316 dan Nasa’i VI: 265).
Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia bercerita: Saya pernah mendengar Umar bin Khattab ra berkata, “Saya pernah membelikan (seseorang) perbekalan untuk jihad di jalan Allah yang diletakkan di atas punggung kuda, lalu perbekalan tersebut dihilangkan kemudian saya bermaksud hendak membelinya darinya, dan saya menduga ia akan menjualnya dengan harga murah. Kemudian kutanyakan hal itu kepada Nabi saw, maka Rasulullah menjawab, “Janganlah engkau beli barang itu, walaupun ia memberi kepadamu dengan (harga) satu dirham, maka sesungguhnya orang yang menarik kembali shadaqahnya laksana anjing menelan muntahnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 353 no: 1490, Muslim III: 1239 no: 1620, Nasa’i V: 108, Tirmidzi meriwayatkan secara ringkas II: 89 no: 663 dan ’Aunul Ma’bud IV: 483 no: 1578).
Pengecualian dari ketentuan di atas adalah pemberian seorang ayah yang memberi kepada anaknya.
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra, keduanya mengatakan hadits ini dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang laki-laki yang memberi sesuatu kemudian memintanya kembali, melainkan seorang ayah menarik kembali pemberian yang ia berikan kepada anaknya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7655, ’Aunul Ma’bud IX: 455 no: 3522, Tirmidzi II: 383 no: 1316, Nasa’i VI: 265 dan Ibnu Majah II: 795 no: 2377).
Jika pihak diberi hadiah mengembalikannya, maka tidak mengapa pihak pemberi hadiah mengambilnya kembali. Dari Aisyah ra, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah shalat pada sehelai kain yang bergaris-garis, lalu sekejap Beliau melihat pada garis-garisnya. Tatkala usai shalat, Beliau bersabda, “Bawalah kain ini kepada Abi Jahm dan datangkanlah untukku kain tebal yang polos dari Abi Jahm; karena sesungguhnya ia tadi (sempat) membuatku lalai dari shalatku.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 482 no: 373, Muslim I: 391 no: 556, ’Aunul Ma’bud III: 182 no: 901 dan Nasa’i II: 72).
Dari Sha’b bin Jatsamah al-Laitsi -ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw-, bahwa ia pernah memberi hadiah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berupa keledai liar di daerah Abwaa’ -atau di Waddan-. Kala itu Beliau sedang berihram, lalu Beliau menolaknya. Sha’b berkata, “Ketika Beliau meAl-Hudud
1. PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).
2. DELIK HUKUMAN KEJAHATAN
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jaraimul hudud (delik hukuman kejahatan). Yaitu meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muharabah
(pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya (Fiqhus Sunnah II: 302).
3. KEUTMANAAN MELAKSANAKAN HUKUM HAD
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih penduduknya daripada mereka diguyurhujan selama empat puluh hari.” (Hasan ; Shahih Ibnu Majah no; 2057, Ibnu Majah II ; 848 no : 2538, Nasa’I VIII ; 76).
4. KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUMAN ATAS KELUARGA DEKAT ATAPUN SELAIN MEREKA DAN ATAS ORANG TERPANDANG MAUPUN RAKYAT JELATA
Dari ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah pada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecamanan orang yang suka mencela mempengaruhi kamu dalam (menegakkan hukum-hukum) Allah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah No. 2058 dan Ibnu Majah 849 No. 2540)
Dari Aisyah bahwa Usamah pernah berbincang-bincang dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam perihal seorang perempuan, lalu Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa hanyalah disebabkan mereka biasa menegakkan hukuman kejahatan atas nama orang yang dipandang hina dan mereka tidak menegakkannya atas orang yang terpandang. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalaulah sekiranya Fatimah (binti Mumahammad) melakukan (pencurian) itu, niscaya aku potong tangannya.” (Shahih ; Irwa-ul Ghalil no. 2319 dan Fathul Bari XII 86 no. 6887).
5. TIDAK DIBENARKAN MINTA PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJAHIJAUKAN
Dari Aisyah r.a bahwa kaum Quraisy sangat memusingkan mereka ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang telah melakukan kasus pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang berbicara hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan Beliau menjawab, “Adakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?” Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong tangannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 87 No. 6788, Muslim II: 1315 no 1688, ‘Aunul Ma’bud XII: 31 No: 4351, Nasa’i VII: 74, Tirmidzi II: 442 no: 1455 dan Ibnu Majah II: 851 no: 2547)
6. DIANJURKAN MENUTUP AIB SESAMA MUKMIN
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa menutup aib orang muslim, niscaya Allah menutup aibnya (juga) di dunia dan di akhirat.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no. 1888, Muslim IV: 2074 no 2699, Tirmidzi II: 539 no 1449, Ibnu Majah I: 82 No. 225, ‘Aunul Ma’bud XIII: 289 no. 4925).
Dianjurkan juga bagi seorang hamba untuk menutup aibnya sendiri, sebagaimana yang ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, “Seluruh ummatku akan dima’afkan (kesalahannya), kecuali orang-orang yang membeberkan aibnya sendiri; dan termasuk membeberkan aib sendiri seseorang di malam hari melakukan kesalahan, kemudian esok harinya Allah menutupinya, lantas ia berkata (kepada orang lain): Hai fulan, tadi malam saya sudah berbuat begini dan begini. Padahal semalam aibnya ditutupi oleh Rabbnya, maka pada pagi harinya dia membuka tabir Allah itu atasnya.” (Muttafaqun ’alaih: X: 486 no: 6069, dan Muslim IV: 2291 no: 2990)
7. HUDUD SEBAGAI KAFARAH
Dari Ubadah bin Shamit r.a, ia bertutur: Kami pernah berada di dekat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam salah satu majelis, Beliau bersabda, “Berjanji setialah kamu kepadaku, bahwa kamu tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri dan tidak (pula) akan berzina.” Kemudian Beliau membaca seluruh ayat ini. Lanjut Beliau, “Maka barangsiapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya), dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 64 no: 18, Muslim III: 1333 no: 1709 dan Nasa’i VII: 148).
8. PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD
Tak ada yang berwenang menegakkan hudud, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah juga mengutus Unais r.a untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” (Hadis ini akan dimuat kembali dalam kisah yang akan segera dikemukakan)
Seorang tuan boleh melaksanakan hukuman atas hamba sahayanya. Hal ini mengacu pada sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:
“Apabila seorang budak perempuan berzina, lalu terbukti ia berzina, maka hendaklah dia (tuannya) mencambuknya dengan sunguh-sungguh dan janganlah mencelanya. Kemudian jika ia berzina untuk kedua kalinya, maka juallah ia meki sekedar dengan harga sehelai rambut.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 165 No. 6839 dan Muslim III: 1328 No. 1703).
9. ORANG YANG BERSHADAQAH KEMUDIAN MEWARISINYA
Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra, katanya: Telah datang seorang perempuan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, lalu bertutur; “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah menshadaqahkan budak perempuanku kepada ibuku, namun (sekarang) dia telah meninggal dunia.” Jawab Beliau, “Mudah-mudahan Allah memberimu pahala, dan ia menjadi harta warisan bagimu.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 535, Muslim II: 805 no: 1149, Tirmidzi II: 89 no: 662 dan ‘Aunul Ma’bud VIII: 79 no: 2860).
10. APARAT PEMERINTAH YANG MENERIMA HADIAH ADALAH GHULUL (PENGKHIANAT)
Dari Abi Humaid as-Saidi ra ia bercerita: Nabi saw pernah mempekerjakan seorang sahabat dari (Bani) al-Azd, bernama Ibnul Utabiyah untuk memungut zakat. Tatkala ia kembali (kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam), ia berkata, “Ini untukmu dan ini hadiah yang dihadiahkan orang kepadaku.” Kemudian Nabi saw segera naik mimbar, lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda, “Pantaskah seorang amil zakat yang kami kirim (untuk menarik zakat), lalu datang (kepadaku) lantas berkata, ’Ini untukmu dan ini untukku.’ Mengapa ia tidak duduk-duduk di rumah bapaknya dan ibunya, lalu ia memperhatikan, adakah orang yang memberi hadiah kepada dirinya ataukah tidak ada? Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, ia tidak akan datang dengan membawa hasil pemberian ilegal itu, melainkan ia akan datang pada hari kiamat dengan memikul barang itu di lehernya. Jika ia berupa unta, maka unta itu melenguh; jika ia berupa sapi betina, maka sapi tersebut menguak; jika ia berupa kambing, maka ia mengembek.” Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga kami melihat bulu ketiaknya, lalu Beliau bersabda (lagi), “Ingatlah, aku telah menyampaikan, tiga kali.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XIII: 164 no: 7174, Muslim III: 1463 no: 1832 dan ’Aunul Ma’bud VIII: 162 no: 2930).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 715 – 722.
0 Komentar Untuk "Muamalah, Kajian Tentang Hibah"
Post a Comment