Tentang Etika Terhadap Al-Qur’an
Etika Terhadap Al-Qur’an
Orang Muslim beriman kepada kesucian firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, kemuliaannya, keutamaannya atas semua ucapan, dan bahwa Al-Qur'an al Karim adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang tidak ada kebatilan di depan dan di belakangnya. Barangsiapa berkata dengannya, ia dipercaya Dan barang siapa mengamalkannya, ia bisa bersikap adil.
Para qari'Al-Qur'an adalah keluarga Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan orang-orang khusus-Nya. Orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur'an adalah orang-orang yang selamat dan beruntung, sedang orang-orang yang berpaling daripadanya adalah orang orang yang binasa dan rugi.
Keimanan orang Muslim kepada keagungan Kitabullah (Al-Qur'an), kesucian, dan kemuliaannya semakin bertambah dengan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. tentang keutamaan Al-Qur'an, sebagaimana berikut,
"Bacalah kalian Al-Qur ‘an, karena pada hari kiamat Al-Qur‘an datang menjadi pemberi syafa‘at bagi pembacanya." (HR Bukhari).
"Orang terbaik dari kalian ialah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya." (HR An-Nasai, Ibnu Majah, dan Al Hakim dengan sanad yang baik).
"Orang-orang Al-Qur'an adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya." (HR An-Nasai, lbnu Majah, dan Al-Hakim dengan sanad yang baik).
"Sesungguhnya hati bisa berkarat seperti besi berkarat." Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., "Apa penghilangnya, wahai Rasulullah?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, "Membaca Al-Qur'an dan ingat mati." (HR Al-Baihaqi dengan sanad yang dhaif).
Pada suatu hari, musuh bebuyutan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. datang kepada beliau dan berkata, "Hai Muhammad, bacakan Al-Qur'an kepadaku." Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. membaca firman Allah Ta‘ala,
"Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan." (An-Nahl: 90).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. belum selesai menuntaskan pembacaan ayat di atas, tiba-tiba musuh bebuyutan beliau meminta pengulangan pembacaan ayat tersebut karena kagum kepada keagungan bahasanya, kesucian maknanya, karena ingin mengambil keterangannya, dan karena tertarik pada kekuatan pengaruhnya. Tidak lama berselang, musuh bebuyutan tersebut mengangkat suaranya memberi pengakuan, bersaksi atas kesucian Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan keagungannya. Ia berkata dengan satu perkataan, "Demi Allah, sungguh Al-Qur'an ini betul-betul manis, di dalamnya terdapat keindahan, bawahnya berdaun lebat, dan atasnya berbuah. Al-Qur'an ini tidak diucapkan oleh manusia." (HR Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik. Musuh yang dimaksud ialah Al-Walid bin Al-Mughirah).
Oleh karena itu, di samping orang Muslim menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur'an, mengharamkan apa yang diharamkan Al-Qur'an, dan konsisten dengan adab dan akhlak Al-Qur'an, ia dalam membacanya juga konsisten dengan etika-etika berikut:
1. Ia membacanya dalam kondisi yang paling sempurna, misalnya dalam keadaan bersih, menghadap kiblat, dan duduk dengan santun.
2. Ia membacanya dengan tartil, tidak tergesa-gesa, dan tidak mengkhatamkannya kurang dari tiga malam, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda,
"Barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur‘an kurang dari tiga malam, Ia tidak akan memahaminya." (HR semua penulis Sunan dan di-shahih-kan At-Tirmidzi).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. memerintahkan Abdullah bin Umar ra mengkhatamkan Al-Qur'an dalam tujuh hari. Abdullah bin Mas'ud, Utsman bin Affan, dan Zaid bin Tsabit khatam sekali dalam setiap minggu.
3. Khusyu' dalam membacanya, memperlihatkan kesedihan, dan menangis, atau pura-pura menangis jika ia tidak bisa menangis, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda,
"Bacalah Al-Qur‘an dalam keadaan menangis. Jika kalian tidak bisa menangis. Maka pura-puralah menangis." (HR Ibnu Majah dengan sanad yang baik).
4. Memperindah suaranya ketika membaca Al-Qur'an, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda,
"Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian." (HR Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasai, dan Al-Hakim. Al-Hakim men-shahih-kan hadits ini).
"Bukan termasuk golongan kita, orang yang tidak bersenandung dengan Al-Qur'an." (Muttafaq ‘Alaih).
"Allah tidak mengizinkan sesuatu sebagaimana Dia mengizinkan Rasul-Nya untuk bersenandung dengan Al-Qur'an." (Muttafaq Alaih).
5. Merahasiakan tilawahnya, jika ia khawatir jatuh dalam riya', atau sum‘ah, atau mengganggu orang yang shalat, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda,
"Orang yang membaca Al-Qur'an dengan terang-terangan itu seperti orang yang bersedekah dengan terang-terangan." (HR At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, dan Ahmad).
Sebagaimana diketahui, sedekah itu disunnahkan dilakukan secara rahasia, terkecuali jika terang-terangan itu mempunyai tujuan yang diharapkan bisa tercapai, seperti mendorong manusia bersedekah. Tilawah Al-Qur'an juga begitu.
6. Ketika ia membaca Al-Qur'an, ia tidak termasuk orang-orang yang melalaikan atau menentangnya. Sebab, sikap seperti itu bisa jadi menyebabkan ia mengutuk diri dengan dirinya sendiri, sebab jika ia membaca firman Allah Ta‘ala, "Laknat Allah bagi orang yang zhalim." (Al-A'raaf: 44).
Jika ia termasuk orang yang berdusta, dan orang zhalim, maka ia melaknat dirinya sendiri. Riwayat berikut menjelaskan kadar kesalahan orang-orang yang berpaling dari Al-Qur'an, melalaikannya, dan sibuk dengan selain Al-Qur'an. Diriwayatkan dalam Taurat, bahwa Allah Ta‘ala berfirman,
"Tidakkah engkau malu kepada Ku? Engkau mendapatkan surat dari salah seorang saudaramu ketika berjalan di salah satu jalan, kemudian engkau minggir ke samping jalan untuk duduk membacanya, dan merenungkannya kata demi kata, hingga tidak ada satu kata pun yang terlewatkan darimu. Padahal ini adalah Kitab-Ku yang Aku turunkan kepadamu. Lihatlah bagaimana Aku merinci untukmu firman di dalamnya? Betapa seringnya Aku berkata berulang-ulang kepadamu di dalamnya agar engkau merenungkan panjangnya Kitab-Ku, lebarnya. Namun, engkau malah berpaling daripadanya. Aku menjadi lebih hina bagimu daripada salah seorang saudaramu. Wahai hamba-Ku, salah seorang saudaramu duduk kepadamu, kemudian engkau menghadapkan seluruh wajahmu kepadanya, dan engkau mendengarkan seluruh perkataannya dengan seluruh hatimu. Jika seseorang berbicara, atau mengganggumu sehingga engkau tidak bisa mendengarkan perkataannya, engkau pasti memberi isyarat kepadanya agar ia menahan diri. Inilah, Aku datang kepadamu, dan berfirman kepadamu. Tragisnya, engkau malah berpaling dengan seluruh hatimu dan apakah engkau menjadikan-Ku lebih hina daripada salah seorang saudaramu?"
7. Berusaha keras bersifatkan sifat-sifat orang-orang yang menjadi keluarga Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan orang-orang pilihan-Nya. Seperti dikatakan Abdullah bin Mas'ud r.a., "Para qari' (pembaca) Al-Qur'an harus diketahui dengan malamnya ketika manusia sedang tidur, dengan siangnya ketika manusia tidak puasa, dengan tangisnya ketika manusia tertawa, dengan ke-wara'-annya ketika manusia rusak – tidak mengenal kebaikan dengan keburukan – , dengan diamnya ketika manusia larut dalam pembicaraan yang tidak bermanfaat, dengan kekhusyu'annya ketika manusia sombong, dan dengan kesedihannya ketika manusia berpesta-pora."
Muhammad bin Ka'ab berkata, "Kita mengenali qari' (pembaca) Al-Qur'an dengan warna kulitnya yang pucat karena lama tidak tidur dan bertahajjud."
Wuhaib bin Al-Wirdu berkata, "Ditanya kepada seseorang, ‘Kenapa Anda tidak tidur?' Orang tersebut menjawab, ‘Sesungguhnya keajaiban Al-Qur'an menerbangkan tidurku'."
Dzun Nun melantunkan syairnya,
Al-Qur‘an dengan janjinya, dan ancamannya
melarang bola mata untuk tidur pada malam hari
Mereka memahami firman-Nya dari Raja Teragung
Dengan pemahaman yang membuat manusia hina dan tunduk kepadanya.
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 112 – 116.
0 Komentar Untuk "Tentang Etika Terhadap Al-Qur’an "
Post a Comment