Al-Fatihah Terjemahan Beserta Tafsir Lengkap TAFSIR IBNU KATSIR
Al-Fatihah
1
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang
2
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam,
3
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,
4
مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Yang menguasai hari pembalasan.
5
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ
Hanya kepada Engkaulah kami
menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
6
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
7
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
(yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
1. SURAT AL-FATIHAH
سورة الفاتحة
(Pembukaan) Makkiyyah, 7
ayat.
Surat ini dinamakan
Al-Fatihah —yakni Fatihatul Kitab— hanya secara tulisan; dengan surat ini
bacaan dalam salat dimulai. Surat ini disebut pula Ummul Kitab menurut jumhur
ulama —seperti yang dituturkan oleh Anas, Al-Hasan, dan Ibnu Sirin— karena
mereka tidak suka menyebutnya dengan istilah Fatihatul Kitab.
Al-Hasan dan Ibnu Sirin
mengatakan.”Sesungguhnya Ummul Kitab itu adalah Lauh Mahfuz." Al-Hasan
mengatakan bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah Ummul Kitab. Karena itu, keduanya
pun tidak suka menyebut surat Al-Fatihah dengan istilah Ummul Qur'an.
Di dalam sebuah hadis sahih
pada Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya, disebutkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
" الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ
الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ
"
Alhamdu lillahi rabbil
'alamina adalah Ummul Qur'an, Ummul Kitab. Sab'ul masani. dan Al-Qur'anul
'azim.
Surat Al-Fatihah dinamakan pula Alhamdu (الْحَمْدُ) , juga disebut Ash-shalat (الصَّلَاةُ) karena
berdasarkan sabda Nabi Saw. dari Tuhannya yang mengatakan:
" قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي
وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ،
قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي "
Aku bagikan salat antara Aku
dan hamba-Ku menjadi dua ba-gian. Apabila seorang hamba mengucapkan,
"Alhamdu lilldhi rabbil 'dlamlna" (Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam), maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku."
(Hadis)
Surat Al-Fatihah disebut
pula Salat, karena ia merupakan syarat di dalam salat.
Surat Al-Fatihah dinamakan
pula Syifa (الشِّفَاءُ) , seperti yang disebutkan di dalam riwayat Ad-Darimi
melalui Abu Sa'id secara marfu, yaitu:
" فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شِفَاءٌ
مِنْ كُلِّ سُمٍّ"
Fatihatul kitab (surat
Al-Fatihah) merupakan obat penawar bagi segala jenis racun.
Surat Al-Fatihah dikenal
pula dengan nama Ruqyah (الرُّقْيَةُ), seperti yang disebutkan di dalam hadis
Abu Sa'id yang sahih. yaitu di saat dia membacakannya untuk mengobati seorang
lelaki sehat (yang tersengat kalajengking). Sesudah itu Rasulullah Saw.
bersabda kepada Abu Sa'id (Al-Khudri):
" وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا
رُقْيَةٌ؟ "
Siapakah yang memberi tahu
kamu bahwa surat Al-Fatihah itu adalah ruqyah?
Asy-Sya-bi meriwayatkan
sebuah asar melalui Ibnu Abbas, bahwa dia menamakannya (Al-Fatihah) Asasul
Qur'an (fondasi Al-Qur'an). Ibnu Abbas mengatakan bahwa fondasi surat ini
terletak pada bismillahir rahmanir rahim.
Sufyan ibnu Uyaynah
menamakannya Al-Waqiyah, sedangkan Yahya ibnu Kasir menamakannya Al-Kafiyah,
karena surat Al-Fatihah sudah mencukupi tanpa selainnya, tetapi surat selainnya
tidak dapat mencukupi bila tanpa surat Al-Fatihah, seperti yang disebutkan di
dalam salah satu hadis berpredikat mursal di bawah ini:
" أُمُّ الْقُرْآنِ عِوَضٌ
مِنْ غَيْرِهَا، وَلَيْسَ غَيْرُهَا عِوَضًا عَنْهَا "
Ummul Qur'an merupakan
pengganti dari yang lainnya, sedangkan selainnya tidak dapat dijadikan sebagai
penggantinya.
Surat ini dinamakan pula
surat As-Salah dan Al-Kanz. Kedua nama ini disebutkan oleh Az-Zamakhsyari di
dalam kitab Kasysyaf.
Menurut Ibnu Abbas, Qatadah.
dan Abul Aliyah, surat Al-Fatihah adalah Makkiyyah. Menurut pendapat lain
Madaniyyah, seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah, Mujahid, Ata ibnu Yasar,
dan Az-Zuhri. Pendapat lainnya lagi mengatakan, surat Al-Fatihah diturunkan
sebanyak dua kali, pertama di Mekah, dan kedua di Madinah. Tetapi pendapat
pertama lebih dekat kepada kebenaran, karena firman-Nya menyebutkan:
وَلَقَدْ آتَيْناكَ سَبْعاً مِنَ
الْمَثانِي
Dan sesungguhnya Kami telah
berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca bendang-ulang. (Al-Hijr: 87)
Abu Lais As-Samarqandi
meriwayatkan bahwa separo dari surat Al-Fatihah diturunkan di Mekah, sedangkan
separo yang lain diturunkan di Madinah. Akan tetapi, pendapat ini sangat aneh,
dinukil oleh Al-Qurtubi darinya.
Surat Al-Fatihah terdiri
atas tujuh ayat tanpa ada perselisihan, tetapi Amr ibnu Ubaid mengatakannya
delapan ayat, dan Husain Al-Jufi mengatakannya enam ayat; kedua pendapat ini
syaz (menyendiri).
Mereka berselisih pendapat
mengenai basmalah-nya, apakah merupakan ayat tersendiri sebagai permulaan
Al-Fatihah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama qurra Kufah dan segolongan
orang dari kalangan para sahabat dan para tabi'in serta ulama Khalaf, ataukah
merupakan sebagian dari ayat atau tidak terhitung sama sekali sebagai permulaan
Al-Fatihah, seperti yang dikatakan oleh ulama penduduk Madinah dari kalangan
ahli qurra dan ahli fiqihnya. Kesimpulan pendapat mereka terbagi menjadi tiga
pendapat, seperti yang akan disebutkan nanti pada tempatnya insya Allah, dan
hanya kepada-Nya kita percayakan.
Para ulama mengatakan bahwa
jumlah kalimat dalam surat Al-Fatihah semuanya ada 25 kalimat, sedangkan
hurufnya sebanyak 113.
Imam Bukhari dalam permulaan
kitab Tafsir mengatakan bahwa surat ini dinamakan Ummul Kitab karena penulisan
dalam mushaf dimulai dengannya dan permulaan bacaan dalam salat dimulai pula
dengannya. Menurut pendapat lain, sesungguhnya surat ini dinamakan Ummul Kitab
karena semua makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an merujuk kepada apa yang
terkandung di dalamnya. Ibnu Jarir mengatakan, orang Arab menamakan setiap
himpunan suatu perkara atau bagian terdepan dari suatu perkara jika mempunyai
kelanjutan yang mengikutinya —sebagaimana imam dalam suatu masjid besar— dengan
istilah "umm". Untuk itu. Mereka menyebut kulit yang melapisi otak
dengan istilah "ummur rasi" (أُمُّ الرَّأْسِ). Mereka menamakan panji
atau bendera suatu pasukan yang terhirnpun di bawahnya dengan sebutan
"umm" pula. Hal ini dapat dibuktikan melalui perkataan seorang
penyair bernama Zur Rummah, yaitu:
عَلَى رَأْسِهِ أُمٌّ لَنَا نَقْتَدِي
بِهَا ... جِمَاعُ أمور لا نعاصي لَهَا أَمْرَا
Pada ujung tombak itu
terdapat panji kami yang merupakan lambang bagi kami dalam mengerjakan segala
urusan, kami tidak akan mengkhianatinya sama sekali.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa
Mekah dinamakan Ummul Qura karena ia merupakan kota paling depan. mendahului
semua kota lainnya. dan menghimpun kesemuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa
Mekah dinamakan Ummul Qura karena bumi ini dibulatkan mulai darinya. Adapun
surat ini, dinamakan "Al-Fatihah" karena bacaan Al-Qur'an dimulai
dengannya, dan para sahabat memulai penulisan mushaf imam dengan surat ini.
Penamaan surat Al-Fatihah
dengan sebutan "As-Sab'ul masani" dinilai sah. Mereka mengatakan,
dinamakan demikian karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam salat, pada
tiap-tiap rakaat, sekalipun masani ini mempunyai makna yang lain, seperti yang
akan diterangkan nanti pada tempatnya insya Allah.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ وَهَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ عَنِ
ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لِأُمِّ الْقُرْآنِ: " هِيَ
أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ الْقُرْآنُ الْعَظِيمُ"
Imam Ahmad mengatakan bahwa
telah menceritakan kepada mereka Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada
mereka Ibnu Abu Zi'b dan Hasyim ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Zi'b, dari
Al-Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda tentang Ummul Qur'an:
Surat Al-Fatihah adalah Ummul Qur’an, As-Sab'ul Masani, dan Al-Qur'anul Azim.
Kemudian Imam Ahmad
meriwayatkannya pula dari Ismail ibnu Umar, dari Ibnu Abu Zi'b dengan lafaz
yang sama.
وَقَالَ أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ
بْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ: حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَنَا ابْنُ
وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " هِيَ أُمُّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَهِيَ
السَّبْعُ الْمَثَانِي "
Abu Ja'far Muhammad ibnu
Jarir At-Tabari mengatakan telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu
Zi'b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a.. bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Surat Fatihah ini adalah Ummul Qur'an, Fatihatul Kitab, dan
As-Sab'ul masani.
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ
أَحْمَدُ بْنُ مُوسَى بْنِ مَرْدَوَيْهِ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبِ بْنِ حَارِثٍ، ثَنَا إِسْحَاقُ
بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمَوْصِلِيُّ، ثَنَا الْمُعَافَى بْنُ عِمْرَانَ، عَنْ عَبْدِ
الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ نُوحِ بْنِ أَبِي بِلَالٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ سَبْعُ آيَاتٍ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ إِحْدَاهُنَّ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ، وهي
أم الكتاب"
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad
ibnu Musa ibnu Murdawaih mengatakan di dalam tafsirnya bahwa telah menceritakan
kepada kami Ahmad ib-nu Muhammad ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami
Muham-mad ibnu Galib ibnu Haris', telah menceritakan kepada kami Ishaq ib-nu
Abdul Wahid Al-Mausuli. telah menceritakan kepada kami Al-Mu'afa ibnu Imran,
dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Nuh ibnu Abu Bilal, dari Al-Maqbari, dari
Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Alhamdu
lillahi rabbil 'alamin (surat Al-Fatihah) adalah tujuh ayat, sedangkan
bismillahir rahmanir rahim adalah salah satu-nya. Surat Al-Fatihah adalah
As-sab'ul mas'ani, Al-Qur'anul 'azim, Ummul Kitab, dan Fatihatul Kitab.
Ad-Daruqutni meriwayatkannya
melalui Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafaz yang sama atau semisal
dengannya. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa semua rawinya siqah (dipercaya). Imam
Baihaqi meriwayatkan sebuah asar dari Ali, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, bahwa
mereka menafsirkan firman Allah Swt, "sab'an minal masani (tujuh ayat yang
dibaca berulang-ulang)," dengan makna surat Al-Fatihah. dan basmalah
termasuk salah satu ayatnya yang tujuh. Hal ini akan dibahas lebih lanjut lagi
dalam pembahasan basmalah.
Al-A'masy meriwayatkan dari
Ibrahim yang pernah menceritakan bahwa pernah ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud,
"Mengapa engkau tidak menulis Al-Fatihah dalam mus-haf-mu? Ibnu Mas'ud
menjawab, "Seandainya aku menulisnya, niscaya aku akan menulisnya pada
permulaan setiap surat." Abu Bakar ibnu Abu Dawud mengatakan, yang
dimaksud ialah mengingat surat Al-Fatihah dibaca dalam salat, hingga cukup
tidak diperlukan lagi penulisannya, sebab semua kaum muslim telah menghafalnya.
Suatu pendapat mengatakan
bahwa surat Al-Fatihah merupakan bagian dari Al-Qur'an yang mula-mula
diturunkan, seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah, dinukil oleh
Al-Baqilani sebagai salah satu dari tiga pendapat. Menurut pendapat lain, yang
mula-mula diturunkan adalah firman Allah Swt. berikut ini:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
Hai orang yang berselimut.
(Al-Muddatstsir: 1)
Seperti yang disebutkan di
dalam hadis Jabir yang sahih. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah
firman-Nya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ
Bacalah dengan menyebut nama
Tuhanmu yang telah menciptakan. (Al-Alaq: 1)
Pendapat terakhir
inilah yang paling
sahih, seperti yang
akan diterangkan nanti pada pembahasan tersendiri.
Hadis-hadis yang menerangkan
keutamaan surat Al-Fatihah
ذِكْرُ مَا وَرَدَ فِي فَضْلِ
الْفَاتِحَةِ
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ، عَنْ شُعْبَةَ، حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ حَفْصِ
بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ المُعَلَّى، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
كُنْتُ أُصَلِّي فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ
أُجِبْهُ حَتَّى صلَّيت وَأَتَيْتُهُ، فَقَالَ: " مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنِي؟
". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي. قَالَ:
" أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ} [الْأَنْفَالِ: 24] ثُمَّ قَالَ:
" لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ
الْمَسْجِدِ ". قَالَ: فَأَخَذَ بِيَدِي، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ
الْمَسْجِدِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ: " لَأُعَلِّمَنَّكَ
أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ ". قَالَ: " نَعَمْ، الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ: السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي
أُوتِيتُهُ ".
Imam Ahmad ibnu Muhammad
ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Yahya ibnu Sa'id, dari Syu'bah yang mengatakan bahwa telah menceritakan
kepadaku Khubaib ibnu Abdur Rahman, dari Hafz ibnu Asim, dari Abu Sa'id ibnul Mua’la
r.a. yang menceritakan: Aku sedang salat, kemudian Rasulullah Saw. memanggilku,
tetapi aku tidak menjawabnya hingga aku selesai dari salatku, lalu aku datang
kepadanya dan ia bertanya, "Mengapa engkau tidak segera datang kepadaku?
Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang salat."
Beliau Saw. bersabda, "Bukankah Allah Swt. telah berfirman, 'Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian' (Al-Anfal:
24)." Kemudian beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar
akan mengajarkan kepadamu surat yang paling besar dalam Al-Qur'an sebelum kamu
keluar dari masjid ini." Lalu beliau memegang tanganku. Ketika beliau
hendak keluar dari masjid, aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
engkau telah mengatakan bahwa engkau akan mengajarkan kepadaku sebuah surat
Al-Qur'an yang paling agung. Beliau menjawab, "Ya, Alhamdulillahi rabbil
'alamin adalah sab'ul masani, dan Al-Qur'anul 'azim yang diberikan
kepadaku."
Demikian pula menurut yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Musaddad dan Ali ibnul Madini, keduanya
dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan lafaz yang sama. Imam Bukhari pun
meriwayatkan hadis ini pada bagian lain dalam tafsirnya. dan diriwayatkan pula
oleh Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Majah dari berbagai jalur melalui Syu'bah dengan
lafaz yang sama. Al-Waqidi meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Mu'az Al-Ansari,
dari Khubaib ibnu Abdur Rahman, dari Abu Sa'id ibnul MA’la, dari Ubay ibnu Ka'b
hadis yang semisal.
Di dalam kitab Muwatta' Imam
Malik terdapat sebuah hadis yang perlu diperhatikan. Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Imam Malik:
عن العلاء بن عبد الرَّحْمَنِ
بْنِ يَعْقُوبَ الحُرَقي: أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ مَوْلَى عَامِرِ بْنِ كَرِيزٍ أَخْبَرَهُمْ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَادَى أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ،
وَهُوَ يُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ لَحِقَهُ، قَالَ:
فَوَضَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ عَلَى يَدِي، وَهُوَ
يُرِيدُ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ بَابِ الْمَسْجِدِ، ثُمَّ قَالَ: " إِنِّي لَأَرْجُو
أَلَّا تَخْرُجَ مِنْ بَابِ الْمَسْجِدِ حَتَّى تَعْلَمَ سُورَةً مَا أُنْزِلَ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا
فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا ". قَالَ أُبَيٌّ: فَجَعَلْتُ أُبْطِئُ فِي الْمَشْيِ
رَجَاءَ ذَلِكَ، ثُمَّ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا السُّورَةُ الَّتِي وَعَدْتَنِي؟
قَالَ: " كَيْفَ تَقْرَأُ إِذَا افْتَتَحْتَ الصَّلَاةَ؟ قَالَ: فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ:
{الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} حَتَّى أَتَيْتُ عَلَى آخِرِهَا، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " هِيَ هَذِهِ السُّورَةُ،
وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُعْطِيتُ "
dari Al-Ala ibnu Abdur
Rahman ibnu Ya'qub Al-Harqi, bahwa Abu
Sa'id maula Amir ibnu Kuraiz telah menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah
pernah memanggil Ubay ibnu Ka'b yang sedang salat. Setelah Ubay menyelesaikan
salatnya, lalu ia menjumpai Nabi Saw. Nabi Saw. memegang tangan Ubay, saat itu
beliau hendak keluar menuju pintu masjid. Kemudian beliau Saw. bersabda,
"Sesungguhnya aku benar-benar berharap sebelum kamu keluar dari masjid ini
kamu sudah mengetahui suatu surat yang belum pernah diturunkan di dalam Taurat,
Injil, dan tidak ada pula di dalam Al-Qur'an surat yang serupa dengannya."
Ubay melanjutkan kisahnya, "Maka aku mengurangi kecepatan langkahku karena
mengharapkan pelajaran tersebut, kemudian aku berkata, 'Wahai Rasulullah, surat
apakah yang engkau janjikan kepadaku itu?' Beliau Saw. bersabda. 'Apakah yang
engkau baca bila membuka salatmu?' Aku membaca alhamdu lillahi rabbil 'alamina
sampai akhir surat,' lalu beliau bersabda, 'Itulah surat yang kumaksudkan.
Surat ini adalah sab'ul masani dan Al-Qur’anul 'azim yang diberikan
kepadaku'."
Abu Sa'id yang terdapat
dalam sanad hadis ini bukanlah Abu Sa'id ibnul Mala seperti yang diduga oleh
Ibnul Asir di dalam kitab Jami'ul Usul-nya dan orang-orang yang mengikuti
pendapatnya. Karena sesungguhnya Ibnul Mala adalah seorang sahabat dari
kalangan Ansar, sedangkan Abu Sa'id maula ibnu Amir adalah seorang tabi'in,
salah seorang maula Bani Khuza'ah (yaitu Abdullah Amir Ibnu Kuraiz Al-Khuza'i).
Hadis yang pertama muttasil dan berpredikat sahih, sedangkan hadis kedua ini
lahiriahnya munqati' jika memang Abu Sa'id tidak mendengarnya dari Ubay ibnu
Ka'b. Jika Abu Sa'id benar-benar mendengarnya dari Ubay, maka untuk
kebersihannya disyaratkan disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim.
Menurut Imam Ahmad, hadis
ini diriwayatkan pula melalui Ubay ibnu Ka'b, bukan hanya dari satu jalur.
حَدَّثَنَا عفَّان، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَهُوَ يُصَلِّي، فَقَالَ: " يَا
أُبَيُّ "، فَالْتَفَتَ ثُمَّ لَمْ يُجِبْهُ، ثُمَّ قَالَ: أُبَيُّ، فَخَفِّفْ.
ثُمَّ انصرف إلى رسول الل هـ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: السَّلَامُ
عَلَيْكَ أيْ رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ: " وَعَلَيْكَ السَّلَامُ " [قَالَ]
" مَا مَنَعَكَ أيْ أُبَيُّ إِذْ دَعَوْتُكَ أَنْ تُجِيبَنِي؟ ". قَالَ:
أيْ رَسُولَ اللَّهِ، كُنْتُ فِي الصَّلَاةِ، قَالَ: " أَوَلَسْتَ تَجِدُ فِيمَا
أَوْحَى اللَّهُ إِلَيَّ {اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا
يُحْيِيكُمْ} [الْأَنْفَالِ: 24] ". قَالَ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا أَعُودُ،
قَالَ: " أَتُحِبُّ أَنْ أُعَلِّمَكَ سُورَةً لَمْ تُنَزَّلْ لَا فِي التَّوْرَاةِ
وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا؟
" قُلْتُ: نَعَمْ، أَيْ رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لِأَرْجُو أَلَّا أَخْرُجَ مِنْ هَذَا الْبَابِ
حَتَّى تَعْلَمَهَا " قَالَ: فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِيَدِي يُحَدِّثُنِي، وَأَنَا أَتَبَطَّأُ ، مَخَافَةَ أَنْ يَبْلُغَ قَبْلَ
أَنْ يَقْضِيَ الْحَدِيثَ، فَلِمَا دَنَوْنَا مِنَ الْبَابِ قُلْتُ: أيْ رَسُولَ اللَّهِ،
مَا السُّورَةُ الَّتِي وَعَدْتَنِي قَالَ: " مَا تَقْرَأُ فِي الصَّلَاةِ؟
". قَالَ: فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ أُمَّ الْقُرْآنِ، قَالَ: " وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي
الزَّبُورِ، وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلَهَا؛ إِنَّهَا السَّبْعُ المثاني
".
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman
ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar
menemui Ubay ibnu Ka'b yang saat itu sedang salat. Beliau memanggil, "Hai
Ubay!" Ubay menoleh, tetapi tidak menjawab, lalu ia mempercepat salatnya.
Setelah itu ia segera menemui Rasulullah Saw., lalu bersalam
kepadanya.”Assalamu'alaika, ya Rasulallah." Rasulullah Saw. menjawab,
"Wa'alaikas salam, hai Ubay. Apakah yang mencegahmu untuk tidak menjawabku
ketika aku memanggilmu?" Ubay menjawab.”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
sedang dalam salatku." Rasulullah Saw. bersabda, "Tidakkah engkau
menjumpai dalam apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadaku, bahwa penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang
mem-beri kehidupan kepada kalian? (Al-Anfal: 24)." Ubay menjawab.”Mereka
benar, wahai Rasulullah, aku tidak akan mengulanginya lagi." Rasul Saw.
bersabda, "Sukakah kamu bila aku mengajarkan kepadamu suatu surat yang tidak
pernah diturunkan di dalam kitab Taurat. tidak dalam kitab Injil, tidak dalam
kitab Zabur, tidak pula di dalam Al-Qur'an ada surat yang serupa
dengannya?" Ubay menjawab, "Ya, wahai Rasulullah." Rasulullah
Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar berharap, mudah-mudahan
sebelum aku keluar dari pintu ini kamu sudah mengetahuinya." Lalu
Rasulullah Saw. memegang tangan Ubay seraya berbicara dengannya, dan Ubay
memperlambat langkahnya karena khawatir beliau sampai di pintu masjid sebelum
menyampaikan hadisnya. Ketika mereka mendekati pintu tersebut, Ubay bertanya,
"Wahai Rasulullah, surat apakah yang engkau janjikan kepadaku itu?"
Rasulullah Saw. bertanya.”Surat apakah yang kamu baca dalam salat?" Lalu
Ubay membacakan kepadanya surat Ummul Qur'an, sesudah itu beliau Saw. bersabda,
"Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, Allah tidak
pernah menurunkan di dalam kitab Taurat, tidak dalam kitab Injil ser-ta tidak
dalam kitab Zabur, tidak pula dalam Al-Qur'an suatu surat yang serupa dengan
surat itu (Ummul Qur'an). Sesungguhnya surat itu adalah As-Sab'ul masani."
Hadis ini diriwayatkan pula
oleh Imam Turmuzi dari Qutaibah, dari Ad-Darawardi, dari Al-Ala, dari ayahnya,
dari Abu Hurairah r.a. Lalu Imam Turmuzi mengetengahkan hadis ini, dan pada
hadisnya ini terdapat kalimat,
إِنَّهَا مِنَ السَّبْعِ الْمَثَانِي
وَالْقُرْآنِ الْعَظِيمِ الَّذِي أُعْطِيتُهُ
"Sesungguhnya
Al-Fatihah ini adalah As-Sab'ul masani dan Al-Qur'anul 'azim yang diturunkan
kepadaku."
kemudian Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan atau sahih. Dalam bab yang sama
diriwayatkan pula hadis ini melalui Anas ibnu Malik.
Hadis ini diriwayatkan pula
oleh Abdullah ibnu Imam Ahmad, dari Ismail ibnu Abu Ma-mar, dari Abu Usamah,
dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah,
dari Ubay ibnu Ka'b, lalu ia mengetengahkan hadis ini dengan panjang lebar,
semisal dengan hadis di atas atau mendekatinya.
Hadis ini diriwayatkan pula
oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai secara bersamaan,
عَنْ أَبِي عَمَّارٍ حُسَيْنِ
بْنِ حُرَيْثٍ، عَنِ الْفَضْلِ بْنِ مُوسَى، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ،
عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ مِثْلَ أُمِّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ
السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَهِيَ مَقْسُومَةٌ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي "
dari Abu Ammar Husain ibnu
Hurayyis, dari Al-Fadl ibnu Musa, dari Abdul Hamid ibnu Ja'far, dari Al-Ala,
dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Allah tidak pernah menurunkan di dalam kitab
Taurat, tidak pula dalam kitab Injil hal yang semisal dengan Ummul Qur'an; ia
adalah As-Sab'ul masani dan ia terbagi antara Aku (Allah Swt.) dan hamba-Ku
menjadi dua bagian.
Demikianlah menurut lafaz
Imam Nasai. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi garib.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا هَاشِمٌ يَعْنِي ابْنَ الْبَرِيدِ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنِ ابْنِ جَابِرٍ قَالَ:
انْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ أَهَرَاقَ
الماء فقلت: السلام عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، قَالَ فَقُلْتُ:
السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، قَالَ: فَقُلْتُ:
السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، قَالَ: فَانْطَلَقَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي وَأَنَا خَلْفَهُ حَتَّى
دَخَلَ رَحْلَهُ وَدَخَلْتُ أَنَا الْمَسْجِدَ
فَجَلَسْتُ كَئِيبًا حَزِينًا فَخَرَجَ عَلَيَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم وقد تَطَهَّرَ
فَقَالَ: عَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ: «أَلَا أُخْبِرُكَ
يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَابِرٍ بِأَخْيَرِ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ» قُلْتُ: بَلَى
يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ «اقْرَأِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى
تَخْتِمَهَا
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami
Hasyim (yakni Ibnul Barid), telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Muhammad ibnu Aqil, dari Jabir yang menceritakan, "Aku sampai kepada
Rasulullah Saw. yang pada saat itu air (wudu untuk beliau) telah dituangkan.
maka aku mengucapkan. 'Assalamu 'alaika. ya Rasulallah. Tetapi beliau tidak
menjawabku. Maka aku ucapkan lagi, 'Assalamu 'aiaika, ya Rasulallah.' Beliau
tidak menjawabku, dan kuucapkan lagi, 'Assalamu 'alaika, ya Rasulallah, 'tetapi
beliau tetap tidak menjawabku. Rasulullah Saw. berjalan, sedangkan aku berada
di belakangnya hingga beliau masuk ke dalam kemahnya. Kemudian aku masuk ke
dalam masjid, lalu duduk dalam keadaan bersedih hati dan murung. Kemudian
Rasulullah Saw. keluar menemuiku, sedangkan beliau telah bersuci, lalu
bersabda, 'Wa'alaikas salam warahmatullahi wabarakatuh, wa'alaikas salam
warahmatullahi wabarakatuh, wa'alaikas salam warahmatullah.' Kemudian beliau
bersabda, 'Maukah aku ajarkan kepadamu. hai Abdullah ibnu Jabir. suatu surat
yang paling baik dalam Al-Qur'an?' Aku menjawab, 'Tentu saja aku mau, wahai
Rasulullah.' Rasulullah Saw. bersabda, 'Bacalah Alhamdu lil-lahi rabbil
'alamina hingga selesai'."
Sanad hadis ini jayyid
(baik), dan Ibnu Aqil yang ada dalam sanad hadis ini hadisnya dipakai sebagai
hujah oleh para pemuka imam. sedangkan Abdullah ibnu Jabir adalah seorang
sahabat yang oleh Ibnul Jauzi disebut seorang dari kalangan Bani Abdi. Pendapat
yang lain mengatakan bahwa dia adalah Abdullah ibnu Jabir Al-Ansari Al-Bayadi,
menurut Al-Hafiz ibnu Asakir.
Mereka menyimpulkan dalil
dari hadis ini dan yang semisal dengannya, bahwa sebagian dari ayat dan surat
mempunyai kelebihan tersendiri atas sebagian yang lainnya. Seperti yang
diriwayatkan dari banyak ulama, antara lain Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Bakar
ibnul Arabi, dan Ibnu Haffar dari kalangan mazhab Maliki. Sedangkan segolongan
lainnya dari kalangan ulama berpendapat bahwa tiada keutamaan dalam hal
tersebut karena semuanya adalah Kalamullah, agar keutamaan ini tidak memberikan
kesan bahwa hal yang dikalahkan keutamaannya mengandung kekurangan, sekalipun
pada kenyataannya semua mempunyai keutamaan. Demikian menurut yang dinukil oleh
Al-Qurtubi, dari Al-Asy'ari, Abu Bakar Al-Baqilani, Abu Hatim ibnu Hibban
Al-Busti, Abu Hayyan, dan Yahya ibnu Yahya, serta menurut salah satu riwayat
dari Imam Malik.
Imam Bukhari di dalam
Fadailil Qur’an mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul
Musanna, telah menceritakan kepada kami Wahb, telah menceritakan kepada kami
Hisyam, dari Muhammad ibnu Ma'bad, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan
bahwa ketika kami berada dalam suatu perjalanan. tiba-tiba datanglah seorang
budak perempuan muda, lalu ia berkata, "Sesungguhnya pemimpin kabilah
terkena sengatan binatang beracun, sedangkan kaum lelaki kami sedang tidak ada
di tempat. adakah di antara kalian yang dapat meruqyah? Maka bangkitlah seorang
laki-laki dari kalang'an kami bersamanya, padahal kami sebelumnya tidak pernah
memperhatikan bahwa dia dapat meruqyah (pengobatan dengan jampi). Kemudian
lelaki itu me-ruqyah-nya, dan ternyata pemimpin ka-bilah sembuh, maka pemimpin
kabilah memerintahkan agar memberi-nya upah berupa tiga puluh ekor kambing dan
memberi kami minum laban (yoghurt). Ketika lelaki itu kembali, kami bertanya
kepadanya.”Apakah kamu dapat me-niqyah atau kamu pandai me-ruqyah?" Ia
menjawab, "Tidak, aku hanya me-ruqyah dengan membaca Ummul Kitab."
Kami berkata, "Janganlah kalian membicarakan sesuatu pun sebelum kita
sampai dan bertanya kepada Rasulullah." Ketika tiba di Madinah, kami
ceritakan hal itu kepada Nabi Saw., dan beliau menjawab,
«وَمَا كَانَ يُدْرِيهِ أَنَّهَا
رُقْيَةٌ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ»
"Siapakah yang
memberitahukan kepadanya bahwa Al-Fatihah adalah ruqyah? Bagi-bagikanlah dan
berikanlah kepadaku satu bagian darinya!"
Abu Ma'mar mengatakan telah
menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Hisyam,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sirin, telah menceritakan kepadaku
Ma'bad ibnu Sirin, dari Abu Sa'id Al-Khudri, hadis yang sama. Imam Muslim dan
Imam Abu Daud telah meriwayatkannya pula melalui riwayat Hisyam, yaitu Ibnu
Hassan, dari Ibnu Sirin dengan lafaz yang sama.
Menurut sebagian riwayat
yang diketengahkan Imam Muslim, Abu Sa'id Al Khudri adalah orang yang me-ruqyah
orang yang tersengat binatang berbisa itu. Mereka menyebutkan orang yang
terkena sengatan binatang berbisa dengan sebutan Salim (orang yang sehat)
dengan harapan semoga ia sembuh.
Imam Muslim di dalam kitab
Sahih-nya dan Imam Nasai di dalam kitab Sunan-nya telah meriwayatkan dari hadis
Abul Ahwas Salam ibnu Salim, dari Amman ibnu Zuraiq, dari Abdullah ibnu Isa
ibnu Abdurrahman ibnu Abu Laila, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan, "Ketika kami sedang bersama Rasulullah Saw. yang saat itu
sedang bersama Malaikat Jibril, tiba-tiba Jibril mendengar suara gemuruh di
atasnya, lalu Jibril mengangkat pandangannya ke langit dan berkata, 'Ini adalah
suara pintu langit dibuka, pintu ini sama sekali belum pernah dibuka.' Lalu
turunlah seorang malaikat dan langsung datang kepada Nabi Saw., kemudian
berkata: Bergembiralah dengan dua cahaya yang telah diberikan kepadamu, tiada
seorang nabi pun sebelummu yang pernah diberi keduanya, yaitu Fatihatul Kitab
dan ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah. Tidak sekali-kali kamu membaca
suatu huruf darinya melainkan pasti kamu diberi (pahala)nya.
Demikianlah menurut lafaz
riwayat Imam Nasai, hampir sama dengan lafaz Imam Muslim.
قَالَ مُسْلِمٌ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ، هُوَ ابْنُ رَاهَوَيْهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ
عُيَيْنَةَ، عَنِ الْعَلَاءِ، يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ الحُرَقي
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
" مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا أُمَّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِداج -ثَلَاثًا-غَيْرُ
تَمَامٍ ". فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ، قَالَ:
اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ؛ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: " قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي
وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الْفَاتِحَةِ: 2] ، قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي،
وَإِذَا قال: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الْفَاتِحَةِ: 3] ، قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى
عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} [الْفَاتِحَةِ: 4] ، قَالَ
مَجَّدَنِي عَبْدِي " -وَقَالَ مَرَّةً: " فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي -فَإِذَا
قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} [الْفَاتِحَةِ: 5] ، قَالَ: هَذَا
بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ* صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلا الضَّالِّينَ} [الْفَاتِحَةِ: 6، 7] ، قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا
سَأَلَ ".
Imam Muslim mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Al-Hanzali (yaitu Ibnu
Rahawaih), telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Al-Ala
(yakni Ibnu Abdur Rahman ibnu Ya'qub Al-Kharqi), dari Abu Hurairah r.a., dari
Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa salat tanpa membaca Ummul Qur’an di
dalamnya, maka salatnya khidaj —sebanyak tiga kali— yakni tidak sempurna.
Kemudian dikatakan kepada Abu Hurairah, "Sesungguhnya kami salat di
belakang imam." Abu Hurairah r.a. menjawab, "Bacalah untuk dirimu
sendiri, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
Allah Swt. berfirman, 'Aku bagikan salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua
bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Bila seorang hamba berkata. 'Segala
puji bagi Allah. Tuhan semesta alam,' Allah berfirman, 'Hamba-Ku telah
memuji-Ku.' Bila ia berkata, 'Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,' Allah
berfirman, 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.' Bila ia berkata, 'Yang Menguasai
hari pembalasan,' maka Allah berfirman, Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku,' dan
adakalanya sesekali berfirman, Hamba-Ku telah berserah diri kepada-Ku' Bila ia
berkata, Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan,' maka Allah berfirman, 'Ini antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan bagi
hamba-Ku apa yang dia minta.' Bila ia berkata, 'Tunjukilah kami jalan yang
lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada
mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat,' maka Allah berfirman, 'Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku yang dia
minta.”
Demikian pula yang
diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ishaq ibnu Rahawaih; keduanya
meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Malik, dari Al-Ala, dari Abus Saib maula
Hisyam ibnu Zahrah, dari Abu Hurairah yang menurut lafaz hadis ini disebutkan:
«فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا
لِعَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»
Separonya buat-Ku dan
separonya lagi buat hamba-Ku, bagi
hamba-Ku apa yang dia minta.
Hal yang sama diriwayatkan
oleh Ibnu Ishaq, dari Al-Ala. Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis
Ibnu Juraij, dari Al-Ala, dari Abus Saib, seperti hadis ini. Ia meriwayatkannya
melalui hadis Ibnu Abu Uwais, dari Al-Ala, dari ayahnya dan Abus Sa'ib,
kedua-nya menerima hadis ini dari Abu Hurairah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa
hadis ini berpredikat hasan, dan aku pernah menanyakan tentang hadis ini kepada
Abu Zar'ah, maka ia menjawab bahwa kedua hadis ini berpredikat sahih, yaitu
yang dari Al-Ala. dari ayahnya; dan yang dari Al-Ala, dari Abus Sa'ib.
Hadis ini diriwayatkan pula
oleh Abdullah ibnul Imam Ahmad, dari hadis Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, dari Ubay ibnu Ka'b secara panjang lebar.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا
صَالِحُ بْنُ مِسْمَارٍ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، حَدَّثَنَا
عَنْبسة بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ مُطَرَّف بْنِ طَرِيفٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ
كَعْبِ بْنِ عُجْرَة، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رسول الله صلى
الله عليه وسلم: " قال اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ
عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلَهُ مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}
قَالَ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي. ثُمَّ قَالَ: هَذَا لِي وَلَهُ مَا بقي "
Ibnu Jarir mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Salih ibnu Mismar Al-Marwazi, telah menceritakan
kepada kami Zaid ibnu Habbab, telah menceritakan kepada kami Anbasah ibnu
Sa'id, dari Mutanif ibnu Tarif, dari Sa'id ibnu Ishaq, dari Ka'b ibnu Ujrah.
dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku bagikan salat antara Aku dan hamba-Ku
menjadi dua bagian, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.” Apabila seorang
hamba mengucapkan, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka
Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila ia mengucapkan,
"Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah berfirman,
"Hamba-Ku telah menyanjung-Ku," kemudian Allah berfirman, "Ini
untuk-Ku dan bagi hamba-Ku adalah yang sisanya."
Hadis ini garib bila
ditinjau dari segi kalimat terakhir ini.
Hal-hal yang berkaitan dengan surat Al-Fatihah
الْكَلَامُ عَلَى مَا يَتَعَلَّقُ
بِهَذَا الْحَدِيثِ مِمَّا يَخْتَصُّ بِالْفَاتِحَةِ مِنْ وُجُوهٍ
Terkadang surat Al-Fatihah
disebut dengan memakai lafaz "salat", seperti pengertian yang
terkandung di dalam firman-Nya:
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا
تُخافِتْ بِها وَابْتَغِ بَيْنَ ذلِكَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam salat (bacaan)mu dan jangan pula merendahkannya,
tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya. (Al-Isra: 110)
Yang dimaksud dengan lafaz
salataka dalam ayat di atas ialah "bacaanmu", sebagaimana dijelaskan
di dalam hadis sahih melalui Ibnu Abbas. Di dalam hadis tersebut dikatakan:
«قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي
وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا
سَأَلَ»
Aku bagikan salat (bacaan
Al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, separonya untuk-Ku dan
separonya lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.
Kemudian dalam hadis ini
dijelaskan pembagian yang dimaksud dalam bacaan surat Al-Fatihah secara rinci.
Hal ini menunjukkan keagungan kedudukan bacaan dalam salat dan bahwa bacaan
Al-Qur'an dalam salat merupakan salah satu rukunnya yang terbesar, karena
disebutkan istilah "ibadah (salat)", sedangkan yang dimaksud adalah
sebagian darinya, yaitu bacaan (surat Al-Fatihah).
Lafaz qiraah atau bacaan ini
adakalanya disebutkan dengan maksud salatnya, seperti yang terdapat di dalam
firman-Nya:
{وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ
الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا}
Dan (dirikanlah pula salat)
Subuh, sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat). (Al-Isra:
78)
Makna yang dimaksud ialah
salat Subuh, seperti yang dijelaskan di dalam kitab Sahihain: bahwa salat Subuh
itu disaksikan oleh para malaikat yang bertugas di malam hari dan para malaikat
yang akan bertugas di siang hari.
Dapat disimpulkan bahwa
diharuskan membaca bacaan Al-Qur'an dalam salat, menurut kesepakatan para
ulama. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat dalam masalah berikutnya, yaitu:
Apakah merupakan suatu keharusan membaca selain Al-Fatihah. ataukah Al-Fatihah
saja sudah cukup, atau selain Al-Fatihah dapat dianggap mencukupi?
Pendapat pertama menurut
Imam Abu Hanifah dan para pendukungnya dari kalangan murid-muridnya serta
lain-lainnya. Menurut mereka, surat Al-Fatihah bukan merupakan suatu keharusan;
surat apa saja dari Al-Qur'an jika dibaca dalam salat, dianggap telah
mencukupi. Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman Allah Swt:
فَاقْرَؤُا مَا تَيَسَّرَ مِنَ
الْقُرْآنِ
karena itu, bacalah apa yang
mudah bagi kalian dari Al-Qur'an. (Al-Muzzammil: 20)
Hal itu disebutkan pula di
dalam kitab Sahihain melalui hadis Abu Hurairah tentang kisah orang yang
berbuat kesalahan dalam salatnya. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:
«إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ
فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ»
Apabila kamu bangkit
mengerjakan salatmu, bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari
Al-Qur'an.
Menurut mereka, Nabi Saw.
memerintahkan kepada lelaki tersebut agar membaca apa yang mudah dari
Al-Qur'an. Beliau tidak menentukan agar membaca Al-Fatihah serta tidak pula
yang lainnya. Hal ini mereka jadikan dalil untuk memperkuat pendapat mereka
tersebut.
Pendapat kedua mengatakan
bahwa diharuskan membaca surat Al-Fatihah dalam salat. Dengan kata lain, tidak
sah salat tanpa membaca surat Al-Fatihah. Pendapat ini dikatakan oleh para imam
lainnya, yaitu Imam Malik, Imam Syafli, Imam Ahmad ibnu Hambal serta
murid-murid mereka dan jumhur ulama. Mereka mengatakan demikian berdalilkan
hadis yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu: Barang siapa yang mengerjakan
salat tanpa membaca Ummul Qur'an di dalamnya, maka salatnya khidaj.
Yang dimaksud dengan istilah
khidaj ialah kurang; di dalam hadis ditafsirkan dengan makna gairu tamam, yakni
"tidak sempurna". Mereka berdalilkan pula dengan apa yang disebutkan
di dalam hadis Sahihain, melalui hadis Az-Zuhri. dari Mahmud ibnur Rabi', dari
Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»
Tiada salat bagi orang yang
tidak membaca Fatihatul Kitab.
Yakni salatnya tidak sah. Di
dalam hadis sahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban disebutkan melalui Abu
Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
" لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا
يُقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ "
Tidak cukup suatu salat yang
di dalamnya tidak dibacakan Ummul Qur'an.
Hadis-hadis dalam bab ini
cukup banyak jumlahnya. Perbedaan pendapat dalam masalah ini berikut
alasan-alasannya cukup panjang bila disebutkan seluruhnya. dan kami telah
mengisyaratkan dalil-dalil yang menjadi pegangan mereka.
Tetapi mazhab Syafii dan
segolongan orang dari kalangan ahlul 'ilmi mengatakan bahwa wajib membaca surat
Al-Fatihah dalam setiap rakaat. Menurut yang lainnya, sesungguhnya yang
diwajibkan hanyalah membaca surat Al-Fatihah pada sebagian besar rakaatnya.
Al-Hasan dan kebanyakan
ulama Basrah mengatakan, sesungguhnya diwajibkan membaca surat Al-Fatihah hanya
dalam satu rakaat dari salat saja, karena berpegang kepada makna mutlak dari
hadis yang menyatakan: Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul
Kitab.
Imam Abu Hanifah dan
murid-muridnya serta As-Sauri dan Al-Auza'i mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah
bukan merupakan suatu ketentuan, bahkan seandainya seseorang membaca surat
lainnya pun sudah dianggap cukup, berdasarkan kepada firman Allah Swt: karena
itu, bacalah apa yang mudah bagi kalian dari Al-Qur'an. (Al-Muzzammil: 20)
Ibnu Majah meriwayatkan
melalui hadis Abu Sufyan As-Sa'di, dari Abu Hurairah, dari Abu Sa'id secara
marfu':
«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ
فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدِ وَسُورَةٍ فِي فَرِيضَةٍ أَوْ غَيْرِهَا»
Tidak ada salat bagi orang
yang tidak membaca Alhamdu (surat Al-Fatihah) dan surat lainnya dalam setiap
rakaatnya, baik dalam salat fardu ataupun salat lainnya.
Akan tetapi, kesahihannya
masih perlu dipertimbangkan; semuanya itu dibahas dalam kitab Al-Ahkamul Kabir.
Membaca surat Al-Fatihah bagi makmum dalam
salat berjamaah
Apakah makmum diwajibkan
membaca surat Al-Fatihah? Jawabannya, ada tiga pendapat di kalangan para ulama.
Pertama, makmum wajib
membaca surat Al-Fatihah, sebagaimana diwajibkan pula atas imamnya, berdasarkan
kepada keumuman makna hadis-hadis terdahulu.
Kedua, makmum sama sekali
tidak diwajibkan membaca bacaan, baik surat Al-Fatihah ataupun surat lainnya,
baik dalam salat jahriyah (yang keras bacaannya) ataupun dalam salat sirriyah
(yang pelan bacaannya). Hal ini berlandaskan kepada hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya melalui Jabir ibnu
Abdullah, dari Nabi Saw. Disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
«مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ
الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ»
Barang siapa yang mempunyai
imam, maka bacaan imam bagi-nya adalah bacaannya juga.
Akan tetapi, di dalam
sanadnya terdapat ke-da'if-an.
Imam Malik meriwayatkan pula
melalui Wahb ibnu Kaisan, dari Jabir, disebutkan bahwa hadis tersebut adalah
perkataan Jabir sendiri. Hadis ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur,
tetapi tiada satu pun darinya yang dinyatakan sahih dari Nabi Saw.
Ketiga, makmum wajib
membacanya dalam salat siriyyah karena berpegang kepada dalil-dalil yang telah
disebutkan di atas. Tidak wajib baginya membaca bacaan dalam salat jahriyyah
karena berdasarkan sebuah hadis dalam Sahih Muslim melalui Abu Musa Al-Asy'ari
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ
بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا»
Sesungguhnya imam dijadikan
hanyalah untuk diikuti. Maka apabila imam bertakbir, bertakbirlah pula kalian;
dan apabila dia membaca, maka diamlah kalian, hingga akhir hadis.
Hal yang sama diriwayatkan
pula oleh pemilik kitab Sunan lainnya, yaitu Abu Daud, Turmuzi, Nasai, dan Ibnu
Majah melalui Abu Hurairah, dari Nabi Saw. Disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda:
«وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا»
Apabila imam
membaca, maka diamlah
kalian (seraya
mendengarkannya).
Muslim ibnu Hajjaj
menilainya sahih. Kedua hadis tersebut menunjukkan kebenaran pendapat ini yang
merupakan qaul qadim dari Imam Syafii dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu
Hambal.
Tujuan mengetengahkan
masalah tersebut dalam bab ini adalah untuk menerangkan kekhususan surat
Al-Fatihah yang mempunyai hukum tersendiri yang tidak dimiliki oleh surat-surat
lainnya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ
الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ الْجَوْهَرِيُّ، حَدَّثَنَا غَسَّانُ
بْنُ عُبَيْدٍ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الجَوْني، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا وَضَعْتَ جَنْبَكَ عَلَى
الْفِرَاشِ، وَقَرَأْتَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} فَقَدْ
أَمِنْتَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا الْمَوْتَ "
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'id Al-Jauhari, telah
menceritakan kepada kami Gassan ibnu Ubaid, dari Abu Imran Al-Juni, dari Anas
r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila kamu
hendak meletakkan lambungmu di atas peraduan, lalu membaca Fatihatul Kitab dan
Qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlas), maka sesungguhnya kamu aman dari segala
mara bahaya, kecuali maut.
==========================================================================
Tafsir isti'azah dan
hukum-hukumnya
الْكَلَامُ عَلَى تَفْسِيرِ الِاسْتِعَاذَةِ
Allah Swt. berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ
بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Al-A'raf: 199-200)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَصِفُونَ. وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزاتِ
الشَّياطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
Tolaklah perbuatan buruk
mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka stfatkan
(gambarkan). Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari
bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindimg (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku,
dari kedatangan mereka kepadaku." (Al-Mu’minun: 96-97)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَداوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَما يُلَقَّاها
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَما يُلَقَّاها إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ
مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia
ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan
yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah
perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Fushshilat: 34-36)
Setelah ketiga ayat di atas,
tidak ada ayat keempat yang semakna dengannya, yaitu Allah Swt. memerintahkan
agar bersikap diplomasi terhadap musuh dari kalangan sesama manusia dan berbuat
baik kepadanya dengan tujuan agar ia sadar dan kembali kepada watak aslinya
yang baik, yakni kembali bersahabat dan rukun. Allah memerintahkan kita untuk
memohon perlindungan kepada-Nya dalam menghadapi musuh dari kalangan setan, sebagai
suatu keharusan, karena kita tidak boleh bersikap diplomasi dan tidak boleh
pula bersikap baik kepadanya. Setan selamanya hanya menginginkan kebinasaan
manusia karena sengitnya permusuhan antara dia dan nenek moyang umat manusia,
yaitu Adam di masa dahulu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ
الشَّيْطانُ كَما أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ
Hai anak Adam, janganlah
sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan
kedua ibu bapakmu dari surga. (Al-A'raf: 27)
إِنَّ الشَّيْطانَ لَكُمْ عَدُوٌّ
فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّما يَدْعُوا حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya setan itu
adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian), karena sesungguhnya
setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni
neraka yang menyala-nyala. (Fathir: 6)
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ
أَوْلِياءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
Patutkah kalian mengambil
dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku, sedangkan mereka
adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang
yang zalim. (Al-Kahfi: 50)
Sesungguhnya setan (iblis)
pernah bersumpah kepada nenek moyang kita semua, yaitu Adam a.s., bahwa dia
benar-benar termasuk orang-orang yang menasihatinya. Tetapi ternyata setan
berdusta dalam sumpahnya itu. Selanjutnya bagaimanakah perlakuan setan terhadap
kita (sebagai anak cucu Adam a.s.)? Hal ini diungkapkan oleh firman-Nya,
menyitir perkataan setan:
فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ
أَجْمَعِينَ. إِلَّا عِبادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Demi kekuasaan Engkau. aku
akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara
mereka. (Shad: 82-83)
Allah Swt. berfirman:
فَإِذا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ
بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمِ. إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطانٌ عَلَى الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ
وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
Apabila kamu membaca
Al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang
terkutuk Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang
beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya hanyalah atas
orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang
mempersekutukannya dengan Allah. (An-Nahl: 98-100)
Ta'awwudz
Segolongan ulama ahli qurra
dan lain-lainnya mengatakan bahwa bacaan ta'awwuz dilakukan sesudah membaca
Al-Qur'an. Mereka mengatakan demikian berdasarkan makna lahiriah ayat, untuk
menolak rasa 'ujub sesudah melakukan ibadah. Orang yang berpendapat demikian
antara lain ialah Hamzah, berdasarkan apa yang telah ia nukil dari Ibnu Falufa
dan Abu Hatim As-Sijistani. Hal ini diriwayatkan oleh Abul Qasim Yusuf ibnu Ali
ibnu Junadah Al-Huzali Al-Magribi di dalam Kitabul 'Ibadah Al-Kamil. Ia
meriwayatkan pula melalui Abu Hurairah, tetapi riwayat ini berpredikat garib,
lalu dinukil oleh Muhammad ibnu Umar Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya dari
Ibnu Sirin; dalam suatu riwayatnya ia mengatakan bahwa pendapat ini adalah
perkataan Ibrahim An-Nakha'i dan Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari
Abu Bakar ibnu Arabi, dari sejumlah ulama, dari Imam Malik, bahwa si pembaca
mengucapkan ta’awwuz sesudah surat Al-Fatihah. Akan tetapi, Ibnul Arabi sendiri
menilainya garib (aneh).
Menurut pendapat ketiga, ta'awwut
dibaca pada permulaan bacaan Al-Qur'an dan pungkasannya. karena menggabungkan
kedua dalil. Demikianlah yang dinukil oleh Ar-Razi.
Akan tetapi, menurut
pendapat yang terkenal dan dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, bacaan
ta'awwuz hanya dilakukan sebelum bacaan Al-Qur'an, untuk menolak godaan yang
mengganggu bacaan. Menurut mereka, makna ayat berikut:
فَإِذا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ
بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca
Al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang
terkutuk. (An-Nahl: 98)
ialah "apabila kamu
hendak membaca Al-Qur'an". Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di
dalam firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
Apabila kalian hendak
mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tangan kalian. (Al-Maidah: 6)
Makna yang dimaksud ialah
"bilamana kamu hendak mengerjakan salat". Pengertian ini berdasarkan
hadis yang menerangkan tentangnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ
حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ:حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ آتَشَ حَدَّثَنَا
جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَلِيٍّ الرِّفَاعِيِّ الْيَشْكُرِيِّ،
عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إذا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَاسْتَفْتَحَ
صَلَاتَهُ وكبَّر قَالَ: " سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ
اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ ". وَيَقُولُ: " لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ " ثَلَاثًا، ثُمَّ يَقُولُ: " أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ
الْعَلِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزه ونَفْخِه ونَفْثه ".
Imam Ahmad ibnu Hambal
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan ibnu Anas,
telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Ali ibnu Ali
Ar-Rifa'i Al-Yasykuri, dari Abul Muttawakil An-Naji. dari Abu Sa'id Al-Khudri
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw: bila mengerjakan salat di sebagian
malam harinya membuka salatnya dengan bertakbir, lalu mengucapkan: Mahasuci
Engkau, ya Allah, dengan memuji kepada Engkau, Mahasuci asma-Mu dan Maha Tinggi
keagungan-Mu: tiada Tuhan selain Engkau. Kemudian beliau mengucapkan,
"Tidak ada Tuhan selain Allah," sebanyak tiga kali, lalu membaca doa
berikut: "Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, yaitu dari kesempitan, ketakaburan,
dan embusan rayuannya."
Hadis ini diriwayatkan dalam
empat kitab Sunan melalui riwayat Ja'far ibnu Sulaiman, dari Ali ibnu Ali
Ar-Rifa'i, Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini paling masyhur dalam babnya.
Imam Turmuzi mengartikan istilah al-hamz dengan makna 'cekikan' atau
'kesempitan', an-nafakh dengan 'takabur', dan an-nafas dengan makna 'embusan
rayuan yang mendorong seseorang mengeluarkan syairnya'.
Hadis ini sama dengan apa
yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui hadis Syu'bah, dari
Amr ibnu Murah, dari Asim Al-Gazzi, dari Nafi' ibnu Jabir Al-Mut'im, dari
ayahnya yang menceritakan:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ: «اللَّهُ أَكْبَرُ
كَبِيرًا ثَلَاثًا، الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا ثَلَاثًا، سُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً
وَأَصِيلًا ثَلَاثًا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ»
Aku melihat Rasulullah Saw.
bila memulai salatnya mengucapkan, "Allahu akbar kabiran" (Allah
Mahabesar dengan kebesaran yang sesungguhnya), "Alhamdu lillahi
ka'siran" (segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya), "Subhanallahi
bukratan wa asilan" (Mahasuci Allah di pagi dan petang hari) masing-masing
tiga kali; lalu, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari
setan yang terkutuk, yaitu dari godaannya, sifat takaburnya, dan embusan
rayuannya."
Menurut Umar,
al-hamz artinya kesempitan, nafakh
artinya ketakaburan, dan nafas artinya syairnya yang batil.
الَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضيل، حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ،
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، وهَمْزه وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ ".
قَالَ: هَمْزُهُ: الْمَوْتَةُ،
ونَفْثُه: الشِّعْرُ، ونفخه: الكِبْر
Ibnu Majah mengatakan bahwa
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Ata ibnus Sa'ib, dari Abu Abdur
Rahman As-Sulami, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw.: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau
dari setan yang terkutuk, yakni dari godaan, rayuan, dan bisikannya.
Ibnu Majah mengatakan bahwa
hamzihi artinya cekikannya, nafkhihi artinya takaburnya, dan nafsihi adalah
syairnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ رَجُلٍ
حَدَّثَهُ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ كبَّر ثَلَاثًا، ثُمَّ
قَالَ: " لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ " ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ
وَبِحَمْدِهِ "، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ قَالَ: " أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami
Syarik. dari Ya’la ibnu Ata, dari seorang lelaki yang menceritakan kepadanya
bahwa dia pernah mendengar Abu Umamah Al-Bahili menceritakan: Apabila Rasulullah
Saw. hendak mengerjakan salatnya. terlebih dahulu membaca takbir tiga kali,
lalu mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah" sebanyak tiga kali,
dan "Mahasuci Allah dan dengan memuji kepada-Nya"sebanyak tiga kali.
Setelah itu beliau berdoa, "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang
terkutuk, yaitu dari godaan, rayuan, dan bisikannya."
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى
أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُثَنَّى الْمَوْصِلِيُّ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ هِشَامِ
بْنِ الْبَرِيدِ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ،
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: تَلَاحَى
رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَمزّع أَنْفُ أَحَدِهِمَا
غَضَبًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي
لِأَعْلَمُ شَيْئًا لَوْ قَالَهُ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ".
Al-Hafiz Abu Ya’la Ahmad
ibnu Ali ibnul Musanna Al-Mausuli mengatakan di dalam kitab Musnad-nya bahwa
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar ibnu Aban Al-Kufi, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Hisyam ibnul Barid, dari Yazid ibnu Ziad,
dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ubay ibnu
Ka'b r.a. yang menceritakan: Ada dua orang laki-laki beradu janggut
(bertengkar) di hadapan Nabi Saw., lalu salah seorang darinya mencabik-cabik
hidung karena marah sekali. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya
aku benar-benar mengetahui sesuatu; seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan
lenyaplah rasa emosinya itu, yaitu, 'Aku berlindung kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk.”
Hal yang sama diriwayatkan
pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah, dari Yusuf ibnu Isa
Al-Marwazi, dari Al-Fadl ibnu Musa, dari Yazid ibnu Abul Ja'diyyah. Hadis ini
diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, dari Abu Sa'id, dari Zaidah dan
Abu Daud, dari Yusuf ibnu Musa, dari Jarir ibnu Abdul Hamid; juga oleh Imam
Turmuzi dan Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah-nya, dari Bandar,
dari Ibnu Mahdi, dari As-Sauri.
Imam Nasai sendiri
meriwayatkannya melalui hadis Zaidah ibnu Qudamah, ketiga-tiganya dari Abdul
ibnu Umair. dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal r.a. yang
menceritakan, "Ada dua orang lelaki bertengkar di hadapan Nabi Saw., lalu
salah seorang dari mereka tampak memuncak emosinya hingga terbayang olehku
seakan-akan salah seorang dari keduanya mencabik-cabik hidungnya karena tiupan
amarah, lalu Rasulullah Saw. bersabda:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا غضبا شديدا حتى يخيل إِلَيَّ
أَنَّ أَحَدَهُمَا يَتَمَزَّعُ أَنْفُهُ مِنْ شِدَّةِ غَضَبِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنِّي لِأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ
عَنْهُ ما يجد من الغضب» فقال: مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: يَقُولُ: «اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ» قال: فجعل معاذ يأمره فأبى وَجَعَلَ
يَزْدَادُ غَضَبًا
'Sesungguhnya aku
benar-benar mengetahui suatu kalimat; seandainya dia mengucapkannya, niscaya
akan lenyaplah amarah yang menguasai dirinya'.”Mu'az ibnu Jabal r.a. bertanya,
"Apakah kalimat itu, wahai Rasulullah? 'Nabi Saw. menjawab, "Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari godaan setan yang
terkutuk." Perawi mengatakan, "Lalu Mu'az memerintahkan orang yang
meluap amarahnya itu untuk membacanya, tetapi dia menolak, akhirnya dia makin
bertambah emosi."
Demikianlah lafaz yang
diketengahkan oleh Abu Daud. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
berpredikat mursal; dengan kata lain, Abdur Rahman ibnu Abu Laila belum pernah
bersua dengan Mu'az ibnu Jabal karena Mu'az telah meninggal dunia sebelum tahun
20 Hijriah.
Menurut kami, barangkali
Abdur Rahman ibnu Abu Laila mendengar hadis ini dari Ubay ibnu Ka'b,
sebagaimana keterangan yang lalu, kemudian Ubay menyampaikan hadis ini dari
Mu'az ibnu Jabal, karena sesungguhnya kisah ini disaksikan bukan hanya oleh
seorang sahabat.
Imam Bukhari mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan
kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Addi ibnu Sabit yang menceritakan bahwa
Sulaiman ibnu Sard r.a. telah menceritakan:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوسٌ فَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ
صَاحِبَهُ مُغْضَبًا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ «إِنِّي لِأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ
قَالَ: «أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ» فَقَالُوا لِلرَّجُلِ أَلَا
تَسْمَعُ مَا يَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّي
لَسْتُ بِمَجْنُونٍ
Ada dua orang laki-laki
bertengkar di hadapan Nabi Saw. Ketika itu kami sedang duduk bersamanya. Salah
seorang dari kedua lelaki itu mencaci lawannya seraya marah, sedangkan wajahnya
tampak memerah (karena emosi). Maka Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku
benar-benar mengetahui suatu kalimat; seandainya dia mau mengucapkannya.
niscaya akan lenyaplah 'emosi yang membakarnya itu. Yaitu ucapan, 'Aku
berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk'." Maka mereka
(para sahabat) berkata kepada lelaki yang emosi itu.”Tidakkah kamu mendengar
apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw?." Lelaki itu justru menjawab,
"Sesungguhnya aku tidak gila."
Imam Bukhari meriwayatkannya
bersama Imam Muslim, Abu Daud. dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari
Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
Sehubungan dengan masalah
isti'azah ini. banyak lagi hadis yang cukup panjang bila dikemukakan dalam
kitab ini. Bagi yang menginginkan keterangan lebih lanjut, dipersilakan merujuk
kepada kitab-kitab "Zikir dan Keutamaan Beramal".
Telah diriwayatkan bahwa
Malaikat Jibril a.s. —pada waktu pertama kali menurunkan Al-Qur'an kepada
Rasulullah Saw.— memerintahkannya agar membaca isti'azah (ta'awwuz). Demikian
menurut riwayat Imam Abu Ja'far ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada
kami Abu Kuraib. telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah
menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu
Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada waktu
pertama kali Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw., ia berkata,
"Hai Muhammad, mohonlah perlindungan (kepada Allah)!" Nabi Saw.
bersabda, "Aku memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk." Kemudian Malaikat Jibril
berkata.”Ucapkanlah bismillahir rahmanir rahim." Selanjutnya Malaikat
Jibril berkata lagi, "Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah
menciptakan."
Abdullah ibnu Abbas
mengatakan. hal tersebut merupakan surat yang mula-mula diturunkan Allah kepada
Nabi Muhammad Saw. melalui lisan Malaikat Jibril.
Asar ini berpredikat garib.
sengaja kami ketengahkan untuk dikenal, mengingat di dalam sanadnya terkandung
kelemahan dan inqita' (maqtu').
Jumhur ulama mengatakan
bahwa membaca ta'awwuz hukumnya sunat, bukan merupakan suatu keharusan yang
mengakibatkan dosa bagi orang yang meninggalkannya. Ar-Razi meriwayatkan dari
Ata ibnu Abu Rabah yang mengatakan wajib membaca ta'awwuz dalam salat dan di
luar salat, yaitu bila hendak membaca Al-Qur'an.
Ibnu Sirin mengatakan,
"Apabila seseorang membaca ta'awwuz sekali saja dalam seumur hidupnya, hal
ini sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban membaca ta'awwuz"
Ar-Razi mengemukakan
hujahnya kepada Ata dengan makna lahiriah ayat yang menyatakan, "Fasta'iz
(maka mintalah perlindungan kepada Allah)." Kalimat ini adalah kalimat
perintah yang lahiriahnya menunjukkan makna wajib, juga berdasarkan pengalaman
yang dilakukan oleh Nabi Saw. secara terus-menerus. Dengan membaca ta'awwuz,
maka kejahatan setan dapat ditolak. Suatu hal yang merupakan kesempurnaan bagi
hal yang wajib, hukumnya wajib pula. Karena membaca ta'awwuz merupakan hal yang
lebih hati-hati, sedangkan sikap hati-hati itu merupakan suatu hal yang dapat
melahirkan hukum wajib.
Mas’alah
Sebagian ulama mengatakan
bahwa membaca ta'awwuz pada awal mulanya diwajibkan kepada Nabi Saw., tetapi
tidak kepada umatnya. Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa dia tidak membaca
ta'awwuz dalam salat fardunya; tetapi ta'awwuz dibaca bila mengerjakan salat
sunat Ramadan pada malam pertama.
Imam Syafii di dalam kitab
Al-Imla mengatakan bahwa bacaan ta'awwuz dinyaringkan; tetapi jika dipelankan,
tidak mengapa. Di dalam kitab Al-Umm disebutkan boleh memilih, karena Ibnu Umar
membacanya dengan pelan, sedangkan Abu Hurairah membacanya dengan suara nyaring.
Tetapi bacaan ta'awwuz selain pada rakaat pertama masih diperselisihkan di
kalangan mazhab Syafii, apakah disunatkan atau tidak, ada dua pendapat, tetapi
yang kuat mengatakan tidak disunatkan.
Apabila orang yang membaca
ta'awwuz mengucapkan, "A'uzu billahi minasy syaitanir rajim (aku
berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)," maka kalimat
tersebut dinilai cukup menurut Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah.
Sebagian dari kalangan ulama
ada yang menambahkan lafaz As-Sami'ul 'alim (Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui), sedangkan yang lainnya bahkan menambahkan seperti berikut:
"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," menurut As-Sauri dan Al-Auza'i.
Diriwayatkan oleh sebagian
dari mereka bahwa dia mengucapkan, "Aku memohon perlindungan kepada Allah
dari godaan setan yang terkutuk," agar sesuai dengan apa yang
diperintahkan oleh ayat dan berdasarkan kepada hadis Dahhak, dari Ibnu Abbas,
yang telah disebutkan tadi. Akan tetapi, lebih utama mengikuti hadis-hadis
sahih seperti yang telah disebutkan.
Membaca ta'awwuz dalam salat
hanya dilakukan untuk membaca Al-Qur'an, menurut pendapat Abu Hanifah dan
Muhammad. Sedangkan Abu Yusuf mengatakan bahwa ta'awwuz dibaca untuk menghadapi
salat itu sendiri. Berdasarkan pengertian ini. berarti makmum membaca ta'awwuz
sekalipun imam tidak membacanya. Dalam salat Id (hari raya), ta'awwuz dibaca
sesudah takbiratul ihram dan sebelum takbir salat hari raya. Sedangkan menurut
jumhur ulama sesudah takbir Id dan sebelum bacaan Al-Fatihah dimulai.
Termasuk faedah membaca
ta'awwuz ialah untuk membersihkan apa yang telah dilakukan oleh mulut, seperti
perkataan yang tak berguna dan kata-kata yang jorok, untuk mewangikannya
sebelum membaca Kalamullah.
Bacaan ta'awwuz dimaksudkan
untuk memohon pertolongan kepada Allah dan mengakui kekuasaan-Nya, sedangkan
bagi hamba yang bersangkutan merupakan pengakuan atas kelemahan dan
ketidakmampuannya dalam menghadapi musuh bebuyutan tetapi tidak kelihatan,
tiada seorang pun yang dapat menyangkal dan menolaknya kecuali hanya Allah yang
telah menciptakannya. Setan tidak boleh diajak bersikap baik dan tidak boleh
berbaik hati kepadanya. Lain halnya dengan musuh dari jenis manusia (kita boleh
bersikap seperti itu), sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa ayat Al-Qur'an
dalam tiga tempat, dan Allah Swt. telah berfirman:
إِنَّ عِبادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ
سُلْطانٌ وَكَفى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku,
kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu sebagai penjaga.
(Al-Isra: 65)
Malaikat pernah turun untuk
memerangi musuh yang berupa manusia. Barang siapa terbunuh oleh musuh yang
kelihatan (yakni manusia), maka ia mati syahid. Barang siapa terbunuh oleh
musuh yang tidak kelihatan, maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan
terlaknat. Barang siapa yang dikalahkan oleh musuh yang tampak, maka ia adalah
orang yang diperbudak. Barang siapa yang dikalahkan oleh musuh yang tidak
kelihatan, maka ia adalah orang yang terfitnah atau berdosa. Mengingat setan
dapat melihat manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihatnya, maka manusia
dianjurkan agar memohon perlin-dungan kepada Tuhan yang melihat setan,
sedangkan setan tidak dapat melihat-Nya.
Fasal Istia’dzah
Isti'adzah artinya memohon
perlindungan kepada Allah dan bernaung di bawah lindungan-Nya dari kejahatan
semua makhluk yang jahat. Pengertian meminta perlindungan ini adakalanya
dimaksudkan untuk menolak kejahatan dan adakalanya untuk mencari kebaikan, seperti
pengertian yang terkandung di dalam perkataan Al-Mutanabbi (salah seorang
penyair), yaitu:
يَا مَنْ أَلُوذُ بِهِ فِيمَا
أُؤَمِّلُهُ ... وَمَنْ أَعُوذُ بِهِ مِمَّنْ أُحَاذِرُهُ
لَا يَجْبُرُ النَّاسُ عَظْمًا
أَنْتَ كَاسِرُهُ ... وَلَا يَهِيضُونَ عَظْمًا أَنْتَ جابره
Wahai orang yang aku
berlindung kepadanya untuk memperoleh apa yang aku cita-citakan, dan wahai
orang yang aku berlindung kepadanya untuk menghindar dari semua yang aku
takutkan. Semua orang tidak akan dapat mengembalikan keagungan (kebesaran) yang
telah engkau hancurkan, dan mereka tidak dapat menggoyahkan kebesaran yang
telah engkau bangun.
Makna a'uzu billahi minasy
syaitanir rajim adalah "aku berlindung di bawah naungan Allah dari godaan
setan yang terkutuk agar setan tidak dapat menimpakan mudarat pada agamaku dan
duniaku, atau agar setan tidak dapat menghalang-halangi diriku untuk
mengerjakan apa yang.diperintahkan kepadaku, atau agar setan tidak dapat
mendorongku untuk mengerjakan hal-hal yang dilarang aku mengerjakannya".
Sesungguhnya tiada seorang
pun yang dapat mencegah setan terhadap manusia kecuali hanya Allah. Karena itu,
Allah Swt. memerintahkan agar kita bersikap diplomasi terhadap setan manusia
dan berbasa-basi terhadapnya dengan mengulurkan kebaikan kepadanya dengan
tujuan agar ia kembali kepada wataknya yang asli dan tidak mengganggu lagi.
Allah memerintahkan agar kita meminta perlindungan kepada-Nya dari setan yang
tidak kelihatan, mengingat setan yang tidak kelihatan itu tidak dapat disuap
serta tidak terpengaruh oleh sikap yang baik, bertabiat jahat sejak pembawaan,
dan tiada yang dapat mencegahnya terhadap diri kita kecuali hanya Tuhan yang
menciptakannya.
Demikian pengertian yang
terkandung di dalam ketiga ayat Al-Qur'an. yang sepengetahuanku tidak ada ayat
keempat yang semakna dengannya, maka firman Allah swt. dalam surat Al-A'raf:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf, dan
suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh. (Al-A'raf: 199)
Hal ini berkaitan dengan sikap terhadap musuh yang
terdiri atas kalangan manusia. Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ
نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika kamu ditimpa
sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَصِفُونَ. وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزاتِ
الشَّياطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
Tolaklah perbuatan buruk
mereka dengan yang lebih baik, Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.
Dan katakanlah.”Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan
setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan
mereka kepadaku." (Al-Mu’minun: 96-98)
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا
السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ
عَداوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَما يُلَقَّاها إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَما
يُلَقَّاها إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan tidaklah sama kebaikan
dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka
tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan besar. Dan jika setan
mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat:
34-36)
Kata syaitan menurut istilah
bahasa berakar dari kata syatana (شَطَنَ) , artinya "apabila jauh".
Watak setan memang jauh berbeda dengan watak manusia; dengan kefasikannya,
setan jauh dari semua kebaikan.
Menurut pendapat lain ia
berakar dari kata syata (شَاطَ), karena ia diciptakan dari api. Di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna
pertama lebih sahih karena diperkuat oleh perkataan orang-orang Arab. Umayyah
ibnu Abus Silt dalam syairnya menceritakan anugerah yang dilimpahkan kepada
Nabi Sulaimana.s.:
أَيُّمَا شَاطِنٍ عَصَاهُ عَكَاهُ
... ثُمَّ يُلْقَى فِي السِّجْنِ وَالْأَغْلَالِ
Barang siapa (di antara
setan) berbuat durhaka terhadapnya, niscaya dia (Nabi Sulaiman) menangkapnya,
kemudian memenjarakannya dalam keadaan dibelenggu.
Ternyata Umayyah ibnu Abu
Silt mengatakan syatinin, bukan sya'itin; dan berkatalah An-Nabigah Az-Zibyani,
yaitu Ziad ibnu Amr ibnu Mu'awiyah ibnu Jabir ibnu Dabab ibnu Yarbu' ibnu
Murrah ibnu Sa'd ibnu Zibyan:
نَأَتْ بِسُعَادٍ عَنْكَ نَوًى
شَطُونُ ... فَبَانَتْ والفؤادُ بِهَا رَهِينُ
Kini Su'ad berada jauh
darimu, nun jauh di sana ia tinggal, dan kini hariku selalu teringat kepadanya.
Nabigah mengatakan bahwa
Su'ad kini berada di tempat yang sangat jauh.
Imam Sibawaih mengatakan
bahwa orang Arab mengatakan tasyaitana fulanun (تَشَيْطَنَ فُلَانٌ), artinya "si
Fulan melakukan perbuatan seperti perbuatan setan". Seandainya kata
syaitan ini berasal dari kata syata, niscaya mereka (orang-orang Arab) akan
mengatakannya tasyayyata (تشيط). Dengan demikian. dapat disimpulkan bahwa yang
benar adalah lafaz syaitan berakar dari kata syatana yang berarti
"jauh". Karena itu, mereka menamakan setiap orang —baik dari kalangan
manusia, jin, ataupun hewan— yang bersikap membangkang tidak mau taat dengan
sebutan "setan".
Allah Swt. berfirman:
وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ
عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ
غُرُوراً
Dan demikianlah Kami jadikan
bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari
jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Al-An'am: 112)
Di dalam Musnad Imam Ahmad
disebutkan dari Abu Zar r.a. yang menceritakan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا أَبَا ذَرٍّ، تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَيَاطِينِ
الْإِنْسِ وَالْجِنِّ "، فقلت: أو للإنس شَيَاطِينُ؟ قَالَ: " نَعَمْ
"
Rasulullah Saw. bersabda,
"Hai Abu Zar, berlindunglah kepada Allah dari godaan setan manusia dan
setan jin (yang tidak kelihatan)!" Aku bertanya.”Apakah setan itu ada yang
dari kalangan manusia'? 'Beliau menjawab, "Ya."
Di dalam kitab Sahih Muslim
disebutkan dari Abu Zar pula bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ
وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ» فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَالُ الْكَلْبِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ وَالْأَصْفَرِ؟ فَقَالَ: «الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ»
Yang memutuskan salat ialah
wanita. keledai, dan anjing hitam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah,
apakah bedanya antara anjing hitam, anjing merah, dan anjing kuning?' Nabi Saw.
Menjawab: anjing hitam itu adalah setan.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa
telah menceritakan kepadanya Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari
ayahnya, bahwa Khalifah Umar pernah mengendarai seekor kuda birzaun. Ternyata
kuda itu melangkah dengan langkah-langkah yang sombong, maka Umar memukulinya,
tetapi hal itu justru makin menambah kesombongannya. Umar turun darinya dan
berkata, "Kalian tidak memberikan kendaraan kepadaku kecuali kendaraan
setan, dan tidak sekali-kali aku turun darinya melainkan setelah aku ingkar
terhadap diriku sendiri." Sanad asar ini sahih.
Ar-rajim adalah wazan fa'il,
tetapi bermakna mafid, artinya "setan itu terkutuk dan jauh dari semua
kebaikan", sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ
الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ}
Sesungguhnya Kami menghiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu
alat pelempar setan. (Al-Mulk: 5)
{إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ
الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ * وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ * لَا
يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإ الأعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ * دُحُورًا
وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ * إِلا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ}
Sesungguhnya Kami telah
menghiasi langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan (telah
memeliharanya) sebenar-benarnya dari setiap setan yang sangat durhaka.
Setan-setan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan
mereka dilempari dari segala penjuru, untuk mengusir mereka, dan bagi mereka
siksaan yang kekal. Akan tetapi, barang siapa (di antara mereka) yang
mencuri-curi (pembicaraan), maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.
(Ash-Shaffat: 6-10)
{وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَاءِ
بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ * وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ
* إِلا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِينٌ}
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan gugusan bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu
bagi orang-orang yang memandang(nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap setan
yang terkutuk, kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar
(dari malaikat), lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang. (Al-Hijr:
16-18)
Masih banyak lagi ayat-ayat
lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa rajim bermakna rajam, karena setan
merajam manusia dengan godaan dan rayuannya. Akan tetapi. makna yang pertama
lebih terkenal dan lebih sahih.
DALAM TAFSIR LAIN
Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah
Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca
Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit
radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau
mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an
(surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah
kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan
hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad
bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum
membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat
Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul
Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung
dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan
sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun
berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu
sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu
adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul
Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al
‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin
cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan
Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung
kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung
kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya
kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya
sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai
musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat
manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ
أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh
aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang
diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada
yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta
perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada
selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.
Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya
terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang
demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن
نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak
keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya
tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman.
Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar
memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari
golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam
ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ
نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ
الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami
jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan
manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain
ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112)
(Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz
Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut
nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai
bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.”
Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal
kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa
mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil
Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya
sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap.
Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim
adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya.
Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat
Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya
yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi
dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak
yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun
orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan
terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan,
hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi
Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian
kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya
yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan.
Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang
diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi
dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian
semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian
yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah
Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang
memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang
menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada
mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang
meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang
khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di
samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah
yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya.
Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam
penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan
kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai
kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui
betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya
Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah
dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit
dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik
dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka
mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir
Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim
adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah
memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang
terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf:
180)
Setiap nama Allah mengandung
sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani
nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan
yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah
orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka
terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi
penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun
Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah.
Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil
(penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil
yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan
keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh
sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka
menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah
akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah
aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura:
11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan
juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama
dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi
hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan
makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk
itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang
diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena
disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani
kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani
melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah
dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela
daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun
menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang).
Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai
pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang
memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan
melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak
untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang
berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya
menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan
memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa
atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari
kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat
manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan
sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia
kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak
sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat
itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun
dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu
semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka
semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan
pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala
kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan
hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari
pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan.
Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah
tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu
lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya
menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat
ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah
na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat
yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan.
Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah
kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan
kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta
tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun
perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan
dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya.
Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya.
Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak
cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di
antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan
atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau
meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah
alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya
kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah
ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang
lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas
hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata,
“Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana
yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju
keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju
keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap
benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara
inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah
setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya
adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam
melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan
dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan
dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami
jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah,
bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim
yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas
serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan
berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah
memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah
kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud
dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat
agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas
jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian
ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling
lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba.
Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap
rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba
begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya
orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang
diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini
adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam
yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan
‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan
kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya,
mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik
untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang
membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai
keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas
landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan
syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa
Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala.
Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan
sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ
الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya
orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah
orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya.
Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat
adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan
mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam
ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum
yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang
ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir,
hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas
ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara
terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung
intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin
terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah
dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain
sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid
uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya
kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid
asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal
nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan
bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka
kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan
sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani
ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana
adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga
mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal
mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila
tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan
bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat
Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas.
Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan
prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di
balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah
naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala
sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan
menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas
perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum
Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat
intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena
pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti
menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya.
Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam
beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus
lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa
iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh
menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah
kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang
dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a.
Wallahu a’lam bish shawaab.
Penyusun: Abu Muslih Ari
Wahyudi
Sumber: muslim,or.id
0 Komentar Untuk "Al-Fatihah Terjemahan Beserta Tafsir Lengkap TAFSIR IBNU KATSIR"
Post a Comment