Arti Ulil Albab - Pengertian, Makna dan Konsep Ulil Albab
Di antara kesempurnaan Islam itu adalah memancing para pemeluknya untuk banyak berpikir dan meng-upgrade kecerdasan mereka. Makanya orang yang makin beriman, dia makin cerdas. Bukan sebaliknya.
.
Kalau kata orang Ateis, "orang yang beragama, dia malah tidak berpikir." Padahal Allah berfirman..
.
إِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّأُولِى الْأَلْبَابِ
.
Di situ disebutkan "ulil al-bab." "Ulil al-bab" itu adalah orang yang punya wawasan dan dia punya keimanan, sehingga dia berpikir. Dia juga menyadari dengan hatinya. Jadi, "ulil al-bab" itu dalam Islam dijelaskan di ayat selanjutnya. Kalau dalam bahasa Indonesia, "intelektual."
.
اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ
.
Yaitu adalah.. "mereka yang memikirkan ciptaan Allah, mengingat Allah, dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan memikirkan semua penciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi."
Arti Ulil Albab - Pengertian, Makna dan Konsep Ulil Albab
Definisi Kata Ulil Albab
Kata Ulil Albab dalam pengertian secara sederhana sering diartikan sebagai orang yang Berakal atau orang yang berfikir. Pengertian ini tidak salah kalau kita tinjau dari sudut istilah bahasa Indonesia. Akan tetapi, mungkin sudah waktunya kita memahami dan mendalami dengan lebih mendalam dan lebih spesifik lagi. Sehingga kita dapat merenungi secara seksama arti kata ulil albab. Sehingga setiap kita membaca ayat suci Al-Qur’an akan menjadi lebih menghayati lagi makna yang terkandung di dalam hati kita.Mari kita lihat beberapa surat di dalam Alqur'an yang mengandung kata Ulil Albab.
إِنَّفِي خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاخْتِلاَفِاللَّيْلِوَالنَّهَارِلآيَاتٍلِّأُوْلِيالألْبَابِ
الَّذِينَيَذْكُرُونَاللّهَقِيَامًا وَقُعُودًاوَعَلَىَجُنُوبِهِمْوَيَتَفَكَّرُونَفِي خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِرَبَّنَامَاخَلَقْتَهَذا بَاطِلاًسُبْحَانَكَفَقِنَاعَذَابَالنَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Ali Imran: 190-191)
Dalam kitab-kitab terjemahan Al-Qur'an, kata Ulil Albab seringkali dimaknai dengan "orang-orang yang berakal atau berpikir", karena merujuk pada kalimat di dalam Surat Ali Imran ayat 191, "dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi". Kemudian banyak yang menafsirkan bahwa "orang-orang yang berpikir" tersebut adalah para cendekiawan adalah seorang pemikir atau seorang ilmuwan. Apakah setiap orang yang melakukan aktivitas berpikir seperti mereka otomatis termasuk di dalam golongan Ulil Albab?. Jawabannya adalah belum tentu, karena Dalam ayat diatas sudah dipaparkan dengan begitu jelas, bahwa definisi dari Ulil Albab adalah meliputi semua yang tertulis seperti berikut "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi."
Dalam uraian di atas dapat kita lihat bahwa sebelum melakukan aktivitas berpikir, seseorang akan dikatakan sebagai Ulil Albab jika ia telah mampu melaksanakan keiatan dzikir dalam artian selalu mengingat Allah dalam segala kondisi. Baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring bahkan pada saat sedang berpikir, dirinya tidak pernah terlepas dari dzikir.
Kita telah mengetahui dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna karena dikaruniai oleh Allah berupa akal pikiran, punya nalar untuk menentukan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi, jika kata ulil albab dipahami hanya sebagai ‘orang-orang yang berpikir’ seperti ayat di atas sangatlah tidak tepat, karena tidak semua orang dari kita yang berakal ini, mampu mengambil pelajaran dari kisah para nabi.
Pada kisah Nabi Ibrahim, misalnya, bagaimana mungkin Beliau tega untuk membawa, dan kemudian meninggalkan istrinya Siti Hajar r.a. yang baru melahirkan Ismail as, dan Ismail as sendiri ketika itu masih seorang bayi merah, di tengah padang pasir mekkah yang tandus, tanpa bekal dan tanpa air, selama sebelas tahun lamanya? Sementara Nabi Ibrahim sendiri setelah itu justru pulang ke istrinya yang lain, Siti Sarah r.a., dan baru kembali menyusul mereka sebelas tahun kemudian. Tindakan beliau seakan-akan sangat tidak berperi kemanusiaan dan jelas melanggar HAM. Walaupun pada akhirnya, dalam kehausan yang amat sangat, Ismail kecil menendang-nendang pasir dan muncullah dari sana sumber air zamzam. Siti Hajar yang berlari bolak-balik ke sana kemari mencari air antara bukit Shafa dan Marwa, hingga sekarang diabadikan dalam salah satu ritual ibadah haji. Baru bertahun-tahun kemudian Ibrahim a.s datang kembali ke tempat itu, untuk membangun Ka’bah bersama Ismail dan Hajar. Berabad-abad kemudian, tempat itu menjadi sebuah kota bernama Mekkah.
Berdasarkan keterangan diatas, jika kita manusia yang sudah memiliki akal, tapi masih bingung dengan takdir kita yang mungkin tidak menyenangkan, dengan musibah, dengan makna hidup, dengan perilaku para Nabi yang tidak sesuai dengan kehendak kita, bingung dengan kehidupan, bingung kenapa harus ada bencana, atau tidak mampu memahami ayat-ayat mutasyabihaat dalam Al-Qur’an, artinya kita memang berakal, tapi belum termasuk ke dalam golongan yang ulil albab.
Definisi Ulil Albab yang Sesungguhnya
إِنَّفِي خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاخْتِلاَفِاللَّيْلِوَالنَّهَارِلآيَاتٍلِّأُوْلِيالألْبَابِ
الَّذِينَيَذْكُرُونَاللّهَقِيَامًا وَقُعُودًاوَعَلَىَجُنُوبِهِمْوَيَتَفَكَّرُونَفِي خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِرَبَّنَامَاخَلَقْتَهَذا بَاطِلاًسُبْحَانَكَفَقِنَاعَذَابَالنَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (Ali Imran: 190-191)
Dalam kitab-kitab terjemah Al-Qur'an, kata Ulil Albab seringkali dimaknai dengan "orang-orang yang berakal atau berpikir", karena merujuk pada kalimat dalam ayat 191, "dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi". Kemudian banyak yang menafsirkan bahwa "orang-orang yang berpikir" tsb adalah para cendekiawan (pemikir; ilmuwan). Apakah setiap orang yang melakukan aktivitas berpikir seperti mereka otomatis tergolong Ulil Albab?
Belum tentu... bahkan kebanyakan tidak.
Dalam ayat 190 sudah dipaparkan dengan begitu jelas, bahwa definisi dari Ulil Albab adalah meliputi semua yang tertulis di bawah ini:
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi."
Jadi sebelum melakukan aktivitas berpikir, seseorang akan dikatakan sebagai Ulil Albab jika ia telah mampu melaksanakan dzikir (mengingat Allah) dalam segala kondisi. Baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring... dan bahkan pada saat sedang berpikir, dirinya tidak pernah terlepas dari dzikrullah. Tidak terkecuali ketika sedang melakukan aktivitas bekerja, berbicara, menulis, makan, minum, bercanda, berkendara, mandi, B.A.B, mencuci, memasak, berhubungan suami istri, menelepon, chatting, dst.
Hal ini sejalan dengan perintah Allah - dengan redaksi - berdzikirlah sebanyak-banyaknya... berdzikirlah sepanjang pagi dan petang (QS. 76: 25). Artinya, dirinya selalu dalam keadaan berdzikir (mengingat dan menghadap) kepada Allah di setiap waktu alias tanpa terputus. Bukan hanya berdzikir di waktu pagi dan di waktu petang saja. :)
Berdzikir tidak hanya sebatas membaca kalimat-kalimat suci semisal: Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, La ilaha illallah, dsb. Namun segenap jiwa raganya harus dalam keadaan menghadap (khusyu') kepada Allah. Betapa banyak orang yang melakukan ibadah sholat, meskipun mulutnya komat-kamit membaca bacaan sholat, namun pikiran, hati, dan jiwanya tidak dzikrullah (tidak menghadap; tidak khusyu'). Padahal perintahnya ashsholatu lidzikriy... sholatlah kalian untuk mengingat-Ku!
Kalau orang yang sedang sholat saja bisa lalai dari mengingat Allah, lalu bagaimana dengan orang yang sedang bekerja, menulis, berbicara, atau sedang bermain??
Jadi jelas, bahwa terminologi Ulil Albab yang sesunggungnya bukan ditujukan kepada orang-orang yang hanya bisa berpikir, melainkan ditujukan kepada para Ahli Dzikir. Sejalan dengan firman Allah:
"Tanyakanlah pada Ahli Dzikir jika kamu tidak mengetahui!" (Al-Anbiya':7)
Ulil-albab disebut enambelas kali dalam Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an, ulul albab adalah kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Di antara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan, disamping pengetahuan yang diperoleh mereka secara empiris :“ Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul-albab.” ( QS. Al Baqoroh : 269 )
Orang yang pintar atau berpengetahuan adalah orang-orang yang:
Bisa melihat alam dan berbagai fenomenanya untuk bekal kehidupannya. Dengannya ia mampu berfikir dan berdzikir untuk mengagungkan Allah,
Orang yang hatinya senantiasa di isi dengan hal-hal yang mampu membuat ia takut kepada Allah,
Orang yang lidahnya senantiasa basah dengan Istighfar kepada Allah, dan
Orang yang mempunyai prinsip bahwa dunia ini adalah fana atau sementara dan pasti akan hancur adanya.
Ulul albab adalah orang yang mampu mengharmonisasikan kekuatan intelektual dan spiritualnya. ciri utama generasi Ulul Albab adalah generasi yang senantiasa mengingat Allah dalam setiap keadaan dan kesempatan dan dalam segala aktivitas.
Karakteristik Ulul Albab :
1. Selalu mambekali diri dengan takwa
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.( QS. 2 : 197 )
2. Mampu mengambil hikmah/pelajaran dari firman-firman Allah
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).( QS. 2 : 269 )
3. Selalu mencermati fenomena
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi Kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, Kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.( QS. 39 : 21 )
4. Mampu memadukan kekuatan akal dan qalbu
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.( QS. 3 : 190 – 191 )
5. Sangat yakin akan adanya kehidupan akhirat, karena itu selalu mohon perlindungan pada Nya
192. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, Maka sungguh Telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.
193. Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.
194. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang Telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji."( QS. 3 : 192 – 194 )
6. Mampu memisahkan yang baik dan yang buruk walau yang buruk amat menarik
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."( QS. 5 : 100 )
7. Mampu mengambil pelajaran dari perjalanan hidup dirinya atau orang lain
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.( QS. 12 : 111 )
8. Rajin shalat malam
(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.( QS. 39 : 9 )
9. Kritis dalam menilai suatu pemikiran
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.( QS. 39 : 18 )
10. Menjadikan Al Qur’an sebgai kitab suci pencerahan
(Al Quran) Ini adalah penjelasan yang Sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.( QS. 14 : 52 )
Membaca Alam Semesta
Alam semesta dapat menyediakan segala sesuatu yang kita butuhkan asalkan kita dapat membuka diri terhadapnya. ~James Redfield~
Memandang dan Membaca alam semesta yang begitu luas, menimbulkan berbagai decak kagum yang luar biasa. Rasulullah Muhammad saw, tersungkur dalam sujud dengan linangan air mata penuhi rasa takjub tatkala mendengar ayat penciptaan semesta, “Sesunggunya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (ulul albab)” (QS. Ali Imran [3]:190). Sampai-sampai Rasul pun bersabda, “celakalah orang yang membaca ayat ini hanya semata membaca, dengan tidak memperhatikan kandungan didalamnya.” seperti yang dikisahkan ibnu Mardawaih melalui atha’ juga Aisyah ra, dalam tafsir ibnu katsir.
Subhanallah. Rasulullah Muhammad saw, dengan begitu sempurna menajamkan olah rasanya untuk mengingat (dzikir) pada Tuhan dan analisinya yang begitu akurat dalam memaksimalkan daya pikirnya untuk memikirkan keagungan alam semesta. Maka tak salah kalau Michael H. Hart menjadikan sosok Muhammad saw, sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah di antara seratus tokoh berpengaruh, yang mencapai kesuksesan puncak pada level religius dan sekuler.
Membaca Alam semesta dengan seksama akan membukakan ketakjuban yang luar biasa atas berbagai keajaiban fenomena semesta raya. Alam semesta adalah sebuah buku besar yang siap untuk di baca. Ia menyajikan berbagai “bahan” yang siap di olah dan di bentuk menjadi sebuah racikan berharga bagi siapa saja yang mau dan mampu menggunakan “akal” dan pengetahuannya.
Beberapa ilmuwan yang menjadikan alam semesta sebagai salah satu bahan bacaan telah melahirkan kesuksesan yang luar biasa, diantaranya tokoh ilmuwan Barat seperti, Newton seorang tokoh revolusioner sains modern, Einstein sebagai tokoh ilmuwan besar dengan teori relativitasnya, Stephen W. Hawking sebagai tokoh tersohor di dunia yang masih hidup hingga sekarang dengan teori of everything nya, atau tokoh Muslim seperti, Al Biruni sebagai peletak dasar sains modern, Jabir Ibn hayyan sebagai bapak Kimia Modern, Ibn Sina sebagai perintis dunia kedokteran, Al Khawarijmi perintis Al Jabar dan Logaritma, Althusi sebagai konseptor observatorium dll.
Mereka semua adalah sebagian kecil dari orang-orang sukses di dunia yang menjadikan alam semesta sebagai salah satu buku bacaan dalam mengisi perjalanan hidupnya. Mereka semua adalah orang-orang sukses yang telah melahirkan konsep-konsep, teori-teori dengan hasil temuan dan eksperimennya dalam analisis daya pikirnya untuk selalu memikirkan keagungan alam semesta. Tak hanya berhenti sampai disitu, bagi kita bagaimana alam semesta ini sebagai sebuah buku bacaan yang terhampar luas mampu memberikan ruang untuk menjadikan kita sukses tak hanya di dunia tapi juga di akhirat karena kita adalah orang-orang yang berakal [ulul albab], seperti dipesankan oleh Rasulullah Muhammad saw di atas, “celakalah orang yang membaca ayat ini (QS. Ali Imran [3]:190) hanya semata membaca, dengan tidak memperhatikan kandungan didalamnya”.
Prof Dr. Quraish Shihab memaknai Ulul Albab sebagai orang-orang yang memiliki akal yang murni. Kata Al Albab adalah bentuk jamak dari Lubb yaitu saripati sesuatu. Kacang, misalnya memiliki kulit menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan berpikir. Yang merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah swt.
Siapakah sesungguhnya yang disebut dengan orang-orang berakal (ulul Albab)? Tuhan menjawab dalam firmanNya: “(yaitu) orang-orang yang berdzikir (mengingat) Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3]:191).
Berdzikir; memurnikan kebeningan hati
Dalam Islam, seluruh amal ada batas-batasnya. Misalnya amalan puasa, kita hanya diwajibkan untuk menjalankannya pada bulan ramadhan saja. Demikian pula amalan haji, kita dibatasi waktu untuk melakukannya. Menurut Imam Al Ghazali, hanya ada satu amalan yang tidak dibatasi yaitu dzikir. Dalam Al Quran dikatakan, “Berdzikirlah kamu kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya” (QS. Al Ahzab [33] : 41).
Dalam amalan-amalan lain selain dzikir yang diutamakan adalah kualitasnya, bukan kuantitasnya. Yang penting baik tidaknya amal, bukan banyak tidaknya amal itu. Kata sifat untuk amal adalah ‘amalan shaliha bukan amalan katsira. Tapi khusus untuk zikir, Al Quran memakai kata sifat Dzikran Katsira, bukan Dzikran Shaliha. Betapapun jelek kualitas dzikir kita, kita dianjurkan untuk berdzikir sebanyak-banyaknya. Karena dzikir harus kita lakukan sebanyak-banyaknya, maka tidak ada batasan waktu untuk berdzikir. Oleh karena itu, ciri pertama yang mengaku dirinya ulul albab senantiasa berdzikir di setiap keadaan baik ketika berdiri, duduk atau dalam keadan berbaring.
Perhatikan, kalimat “berdzikir sebanyak-banyaknya” menunjukan bahwa seseorang harus mengingat Tuhan secara berulang-ulang. Bagaimana Tuhan mengajarkan kita cara luar biasa dalam membangun kalimat positif secara berulang-ulang sehingga pengulangan kata dzikir ini mampu menembus alam bawah sadar kita. Pengulangan kata positif itulah yang disebut afirmasi, yang akhir-akhir ini merebah di kalangan hypnoterapi yang disebut dengan self-hypnosis. Self-hypnosis ini sebagai salah satu cara membangun keyakinan diri (self-belief) dan kekuatan mental seseorang hingga mencapai kesuksesan sesuai dengan yang diafirmasikannya.
Maka dzikir pada level yang lebih tinggi adalah salah satu cara afirmasi dalam membentuk kekuatan jiwa serta kebeningan hati. Karena pada dasarnya hati setiap manusia itu bening, lalu tugas kita adalah bagaimana mengembalikan kebeningan hati kita setelah sekian lama berbagai pikiran, perasaan dan tindakan negatif mengotorinya. Maka dzikir yang banyak adalah salah satu jawabannya.
Seperti halnya air bening dalam gelas yang terkena setetes tinta hitam, maka berubah pula warna air itu menjadi hitam. Untuk mengambalikan air yang terkena tinta itu menjadi bening kembali maka dibutuhkan air bening baru yang lebih banyak untuk dicampurkan. Sekali lagi, untuk menghilangkan satu tetes tinta hitam saja dibutuhkan air bening baru yang begitu banyak. Hal ini berarti untuk mengeluarkan atau menghapus satu noktah hitam [dosa atau kesalahan] di dada ini dibutuhkan dzikir sebanyak-banyaknya, hingga noktah itu hilang dan menjadikan hati tetap bening kembali.
Kondisi Air yang bening atau hati bening seperti ini yang oleh Prof. Quraish Shihab disebut dengan kondisi Ikhlas. Menurutnya ikhlas adalah mengeluarkan sesuatu dari sesuatu yang bukan esensinya. Air itu adalah hati kita. Air atau hati itulah esensi, tinta hitam sesuatu yang bukan esensi, sementara dzikir adalah tindakan yang mampu mengeluarkan pengotor dari beningnya hati itu sendiri. Kebeningan hati inilah yang kelak menyingkapkan kemampuan membaca berbagai aktivitas kita dengan mata hati dari cahaya Ilahi yang terang. Bahkan ketika kita sedang mencari anugerah Allah, bekerja mencari nafkah, kita tak boleh meninggalkan dzikir, sehingga seluruh aktivitas kita mendatangkan kesuksesan atau keberuntungan. Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung (Al Jumuah [62]:10).
Begitu penting dan bernilainya dzikir untuk dilakukan, menjadikan orang yang tidak berdzikir dikategorikan sebagai orang munafik. “dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (An Nisa [4]:142). Jadi, salah satu ciri orang munafik itu adalah orang yang sedikit berdzikir.
Dalam praktiknya, dzikir seperti apa yang dapat dilakukan dalam mengiringi dan tanpa mesti menghentikan seluruh aktivitas keseharian kita? Sederhananya, dzikir bisa diklasifikasikan berdasarkan apa yang kita baca. Menurut Abu Atha’ Al Sukandari, dzikir dapat dikelompokan menjadi dzikir yang berisi pujian kepada Allah swt., misalnya subhanallah (maha suci Allah), Al Hamdulillah (Segala Puji Bagi Allah), Laaa ilaha Illallah Huwa Allahu Akbar (tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Agung), tapi ada juga dzikir yang berisi doa kepada Allah swt. Misalnya, rabbana atiina fi dunnya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina adzaba an naar. Dzikir pun bisa berisi percakapan perasaaan kita kepada Allah. Dzikir seperti itu disebut Munajat. Orang yang sudah mencapai maqam tertentu, selalu berdzikir dengan bermunajat.
Kalau kita perhatikan secara seksama, tak hanya manusia, seluruh alam semesta berdzikir kepada Allah dengan cara tasbihnya mereka yang tak pernah kita pahami. Sesungguhnya alam semesta mengajarkan kepada manusia agar selalu ingat kepada Allah. Spirit dzikir inilah yang diajarkan Tuhan melalui alam semesta kepada manusia. Sebagaimana firmannya; “Maha suci dan Maha tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Al Israa [17] :44).
Spirit dzikir diatas tidak lain adalah kekuatan spiritual atau kekuatan jiwa yang diajarkan Tuhan kepada kepada seluruh makhluk terlebih manusia agar selalu menyerrtakannya dalam seluruh rangkaian aktivitas kehidupan kita di dunia, dalam bekerja, belajar, membaca dan merenungkan alam semesta ini sehingga mendatangkan keberuntungan dan kesuksesan di dunia maupun akhirat.
Karena sesungguhnya, di luar kecerdasan otak, sikap mental yang baik dan kekuatan motivasi, faktor yang sangat berperan dalam membangkitkan kehebatanmu adalah kejernihan spiritual. Bila sedang shalat, Ali bin Abi Thalib tidak lagi merasakan beratnya segala kesusahan dunia. Ketika menantu Nabi saw., ini terkena anak panah, ia mendirikan shalat dan minta agar anak panah itu dicabut pada saat ia sedang khusyuk dalam shalatnya. Benarlah anak panah itu disabut dan Ali Bin Abi Thalib seperti tidak merasakan sakit sama sekali. Kisah ini menggambarkan pada kita bahwa kondisi Ruhani kita berpengaruh sangat besar terhadap ketajaman otak, kekuatan fisik, dan kecemerlangan pikiran kita. Seperti halnya seorang penulis fiksi, menulis fiksi hanya dengan mengandalkan kekuatan imajinasi, akan menyerap energy yang lebih besar, butuh ketenangan untuk menuangkannya, dan meminta daya tahan yang cukup tinggi.
Ketajaman dan kejernihan spiritual (ruhiyah) kita berpengaruh terhadap kuat tidaknya pemikiran kita atas apa yang dibaca. Untuk menelurkan proses berpikir kreatif yang utuh, kekuatan spiritual sangat mempengaruhinya. Imam Bukhori setelah melakukan penelitian secara seksama, mendalam dan ekstra teliti, mengharuskan dirinya melakukan shalat istikharah setiap akan menuliskan satu hadits. Bila Allah memberi petunjuk bahwa hadis itu sebaiknya di tulis, barulah Imam Bukhori menuangkannya dalam tulisan. Begitulah setiap hendak menuliskan satu hadits, ia selalu melakukan shalat istikharah. Hasilnya Shahih Bukhori menjadi kitab yang insya Allah paling berkah dan sampai hari ini menjadi rujukan yang paling dipercaya.
Imam Malik yang terkenal dengan kitab Muwaththa nya, memiliki kisah lain. Bila orang datang hendak meminta fatwa, Imam Malik bisa segera keluar untuk menemui. Tetapi, bila ada yang datang hendak belajar hadits, Imam Malik memerlukan diri untuk mandi terlebih dahulu. Hadits merupakan perkataan yang agung sehingga Imam Malik memerlukan diri untuk menyucikan jiwa sebelum menyampaikan.
Apa yang dilakukan Imam Bukhari dan Imam Malik adalah gambaran bagi kita bahwa sebelum melakukan aktivitas, menghadirkan kejernihan spiritual dengan selalu mengingat (berdzikir) kepada yang Maha suci, menjadi langkah awal dalam menemukan dahsyatnya hati dalam menghasilkan kekuatan ‘membaca’ yang mengalir dengan deras dan semangat menggebu menghadang penghalang yang ada.
Sudahkah Kita Menjadi Seorang Ulil Albab?
Sahabat, pernahkah merasa heran mengapa ada orang-orang cerdas namun tidak mengakui keberadaan Tuhan? Atau orang-orang cerdas namun tidak memeluk agama Islam? Bukankah semestinya kecerdasan mereka menunjukkan dirinya pada hidayah atau petunjuk Allah?
Nyatanya tidak demikian, cerdas saja tidak cukup, dibutuhkan level yang lebih tinggi dari sekadar cerdas untuk mencapai pengakuan akan kebesaran Allah serta ketundukan pada Sang Pencipta. Level ini bisa disebut sebagai “ulil albab”.
Dalam banyak ayat di Al Qur’an, Allah sering menyebutkan kata “ulil albab” yang sering diartikan sebagai orang-orang yang berakal, atau orang-orang yang berpikir. Akan tetapi faktanya, kata ulil albab mengandung makna yang lebih dalam lagi yang tidak ditemukan padanannya dalam Bahasa Indonesia.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab.” (QS. Ali Imran: 190)
Pertanyaannya, apa yang menjadi kriteria seseorang bisa dimasukkan dalam golongan “Ulil Albab”? Apakah orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual (IQ) tinggi seperti cendekiawan dan para ilmuwan sajalah yang bisa digolongkan sebagai “ulil albab”? Bisakah diri kita menjangkau level “ulil albab”? Jawabannya tentu saja bisa!
Sahabat, dalam buku Qur’anic Quotient karya Udo Yamin Efendi Majdi, selintas dijelaskan bahwa kata “ulil albab” merujuk pada gabungan 3 jenis kecerdasan yang kita kenali selama ini, yaitu: kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
Bisa disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang “ulil albab”, kita harus mengasah 3 jenis kecerdasan tersebut.
Mari kita simak ayat-ayat Allah yang menjelaskan tentang ciri-ciri “Ulil Albab” berikut ini:
1. Terkait dengan kecerdasan intelektual (IQ)
– Seorang ulil albab akan senantiasa merenungi hikmah penciptaan alam semesta. Sebagaimana firman Allah dalam 2 ayat berikut:
“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering, lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (ulil albab).” (QS. Az Zumar: 21)
“Ulil Albab (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191)
Oleh sebab itu, jika kita ingin menjadi seorang yang disebut Allah “ulil albab”, pergunakanlah waktu dan akal kita untuk memahami hikmah penciptaan dunia ini. Jangan sekadar menikmatinya tanpa berpikir.
– Seorang ulil albab akan mendengarkan perkataan dengan seksama, kemudian mengikuti yang terbaik di antaranya.
“Yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (ulil Albab) (QS. Az Zumar: 18)
2. Terkait dengan kecerdasan emosional (EQ)
Seorang ulil albab juga bisa dipastikan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Yakni: memenuhi janji dan tidak merusak amanah, menghubungkan silaturahim, sabar, memberi sebagian rezeki pada orang yang membutuhkan, serta mampu membalas kejahatan dengan kebaikan. Sebagaimana yang Allah beritahukan dalam Qur’an:
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal (Ulil albab) saja yang dapat mengambil pelajaran.
(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar Ra’d: 19-22)
3. Terkait dengan kecerdasan spiritual (SQ)
Selain cerdas secara intelektual dan juga emosional, ulil albab juga merupakan orang-orang yang memiliki kedekatan pada Allah, yakni melakukan bisnis dengan Allah, melalui ketakwaan dan ketawakalannya berserah diri pada Allah.
“… Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (ulil albab).” (QS. Al Baqarah: 197)
Sahabat, ternyata ulil albab merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Ibarat mobil, tak mungkin disebut mobil jika hanya memiliki kaca spion saja, atau bannya saja, atau setir saja!
Ia bisa disebut mobil karena utuh memiliki semua komponen yang diperlukan. Demikian jugalah dengan makna ulil albab.
Ia bukan hanya orang yang cerdas secara intelektual, namun juga pandai mengelola emosi, dan memiliki kecerdasan spritual dengan bertaqwa pada Allah serta banyak melakukan ibadah amal shaleh.
Pertanyaan terpenting selanjutnya adalah, sudahkah kita masuk dalam golongan “ulil albab” yang telah Allah sebutkan ciri-cirinya tersebut? Semoga Allah mampukan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mau berpikir. (SH)
Baca Juga: Apa yang Bisa Kita Banggakan?
Siapakah Ulul Albab ini?
1. Ulul Albab adalah orang berilmu yang mampu membaca ayat – ayat Allah di alam ini sebagaimana dalam riwayat berikut ini.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw berkata: “Wahai ‘Aisyah saya pada malam ini beribadah kepada Allah SWT”. Jawab Aisyah ra: “Sesungguhnya saya senang jika Rasulullah berada di sampingku. Saya senang melayani kemauan dan kehendaknya” Tetapi baiklah! Saya tidak keberatan. Maka bangunlah Rasulullah saw dari tempat tidurnya lalu mengambil air wudu, tidak jauh dari tempatnya itu lalu salat. Di waktu salat beliau menangis sampai-sampai air matanya membasahi kainnya, karena merenungkan ayat Alquran yang dibacanya. Setelah salat beliau duduk memuji-muji Allah dan kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian beliau mengangkat kedua belah tangannya berdoa dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah. Setelah Bilal datang untuk azan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia bertanya: “Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang”. Nabi menjawab: “Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada Allah SWT? Dan bagaimana saya tidak menangis? Pada malam ini Allah SWT telah menurunkan ayat kepadaku.
Selanjutnya beliau berkata: “Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak memikirkan dan merenungkan kandungan artinya”.
Ulul Albab adalah orang yang bertaqwa karena mereka Beriman kepada Allah, sebagaimana dalam Qur’an Surah Ath Thalaq[65]: 10 sbb,
10. Allah menyediakan azab yang keras bagi mereka, maka bertakwalah kepada Allah wahai Ulil Albab, Orang – orang yang beriman. Sungguh Allah telah menurunkan peringatan kepadamu,
Ulul Albab senantiasa dapat mengambil pelajaran dari setiap informasi yang diperolehnya baik itu informasi keburukan atau kebaikan untuk diambil pelajaran dan hikmah, karena mereka Takut Kepada Allah dan Takut terhadap Hisab yang Buruk, Memenuhi janji dan tidak melanggar perjanjian, menghubungkan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkan, sabar karena mengharapkan rida Allah, Sholat dan berinfak, serta menolak kejahatan dengan kebaikan sebagaimana dijelaskan dalam Q.S ar-Ra’d[13]:19-22.
Ulul Albab akan menempati Surga ‘Adn bersama keluarga mereka yang Shaleh yaitu mulai dari Nenek Moyang Mereka (mulai dari orang tua sampai ke atas), Pasangan – pasangan Mereka (Namun tidak menutup kemungkinan adalah Saudara Mereka asalkan mereka termasuk shaleh), Anak Cucunya (Anak – anak ke bawah dan seterusnya) yaitu dalam Q.S Ar-Ra’d[13] ayat 23 sbb,
23. (yaitu) surga – surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan – pasangannya dan anak cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat – tempat mereka dari semua pintu.
Ayat – ayat mutasyabihat hanya bisa dipahami oleh Ulul Albab sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Ali Imran[3]:7 sbb,
7. Dialah yang menurunkan Kitab (Al Qur’an) kepadamu. Didalamnya ada ayat – ayat yang Muhkamat, itulah pokok – pokok kitab dan yang lain Mutasyabihat. Adapun orang – orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti apa yang samar – samar darinya (mutasyabihat) untuk mengharapkan fitnah dan mengharapkan takwilnya, dan tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang – orang yang mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul Albab.
Ayat ini sangat sukar dipahami jika belum mencapai derajat Ulul Albab. Sungguh dalam ayat ini tersingkap rahasia dan hikmah yang besar. Dengan ayat ini Allah memisahkan/menyeleksi hamba- hamba-Nya atas sebagian hamba – hamba-Nya yang lain.
Ulil Albab selalu mengambil pelajaran dari kisah (Sejarah) terdahulu baik yang sudah lama (Nabi dan Umat Terdahulu sebelum Muhammad SAAW) ataukah yang belum lama terjadi (Umat Islam dll) sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Yusuf[12]:111 sbb,
111. Sungguh pada kisah – kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi Ulul Albab. Itu (Al Qur’an atau khususnya kisah yang dijelaskan dalam Surah Yusuf ayat 1 – 110 di atas) bukanlah cerita yang dibuat – buat, tetapi membenarkan (kitab – kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan petunjuk dan rahmat bagi orang – orang yang beriman.
Ulul Albab senantiasa membaca Al Qur’an untuk mendapatkan pelajaran sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Ibrahim[14]: 52 sbb,
52. Dan ini (Al Qur’an) adalah penjelasan (yang sempurna, balagh) bagi manusia, agar mereka diberi peringatan dengannya, agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar Ulul Albab mengambil pelajaran.
Ulul Albab senantiasa mentaddabburi Al Qur’an sbb,
29. Kitab (Al Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka mentaddabburi ayat – ayatnya dan untuk mengingatkan Ulul Albab. (Shad[38]:29)
24. Maka mengapakah mereka tidak mau mentaddabburi al-Qur’an? Apakah karena hati mereka terkunci mati?” (QS 47:24)
Mentaddabburi berarti memikirkan dan merenungkan lalu menghayati karena sudah memahaminya maka diamalkan.
Ulul Albab senantiasa mengambil pelajaran dari setiap peristiwa misalnya kisah Nabi Ayyub yang dinyatakan dalam Q.S Shad[38]: 43 sbb,
43. Dan Kami anugerahi dia (Nabi Ayyub, dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipat gandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi Ulil Albab.
Ulul Albab senantiasa dapat Menerima Pelajaran (Terbuka untuk mempelajari hal – hal yang baru). Namanya juga belajar berarti membuka diri untuk setiap informasi yang belum diketahuinya atau setiap hal yang baru (misalnya informasi tentang Kepemimpinan Imam Ali as maukah dipikirkannya?) sebagaimana dijelaskan dalamQ.S Az Zumar[39]:9. promoritel
0 Komentar Untuk "Arti Ulil Albab - Pengertian, Makna dan Konsep Ulil Albab "
Post a Comment