Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Penguasa
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Penguasa
Abdurrahman Thoyyib Lc
Motivasi pembahasan tema tersebut adalah :
1. Salah satu bagian dari pembahasan kitab-kitab ulama akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
2. Kedekatan kita dengan terpilihnya pemimpin baru kita yaitu Bapak Jokowi yang perlu kita sikapi dengan bijak. Tentunya sesuai dengan Al Quran dan Sunnah yang sesuai dengan pemahaman Salafus Soleh Radhiyallahu Ta’ala Anhu.
3. Banyaknya kejahilan diantara kaum muslimin tentang pembahasan yang satu ini, bukan hanya kaum awamnya bahkan hingga para da’I dan ustadz pun juga menganggap ini masalah mubah, sehingga kita melihat masalah celaan dan hinaan kepada pemimpin kaum muslimin di media massa sesuatu yang dianggap lumrah. Sesuatu yang menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari yang seolah-olah tidak ada hukumnya dalam Islam.
4. Adanya krisis manhaj di tengah-tengah sebagian orang-orang yang mengatakan da’i-dai’I Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Kita lihat di media sosial ada beberapa orang yang tidak ragu/ segan untuk mencera, mengkritik (pemerintah) pemimpin kaum muslimin. Kita dapati di web mereka terdapat cercaan dan kritikan tersebut. Untuk itulah kita berusaha mengikuti jejak Ahlus Sunnah Wal Jamaah ketika munculnya benih-benih fitnah seperti ini yaitu kelunturan manhaj dalam masalah ini karena Ulama terdahulu pun gencar membahas masalah tersebut. Maka dari itu kita ingin meniti jejak mereka dengan memunculkan kembali masalah yang sangat dipentingkan oleh para ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah sejak dahulu sampai detik ini.
5. Kita disini hanya menyampaikan pembahasan ulama terdahulu. Kita hanya meringkas kitab-kitab ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah tentang hal ini.
Yang dimaksud dengan pemimpin dalam penjelasan ini adalah pemimpin muslim. Pemimpin yang telah resmi diangkat oleh kaum muslimin menjadi pemimpin mereka, yang dalam hal ini adalah Bapak Jokowi. Jangan disalahpahami dengan adanya perasaan su’udzon kemudian menganggap masalah ini dengan menyamaratakan dengan pemimpin-pemimpin kafir. Yang kita maksud disini adalah pemimpin kaum muslimin yang masih muslim.
Islam sebagai satu-satunya agama yang haq dan diridhoi serta disempurnakan oleh Allah. Allah berfirman “… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ...” (Al-Maa-idah: 3)
Islam telah menjelaskan kepada kita segala hal yang dibutuhkan oleh manusia. Apa yang bisa mendatangkan kebaikan Islam telah menjelaskannya. Apa yang bisa mendatangkan mudhorot atau kebinasaan terhadap umat telah memperingatkannya.
Sahabat mulia Abu Dzar al Ghiffari berkata “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” “Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian”.
Tujuh Sikap Ahlus Sunnah Wal Jamaah terhadap Pemimpin Kaum Muslimin.
1. Menghormati Dan Memuliakan Pemimpin Kaum Muslimin
Islam telah memberikan kedudukan yang tinggi kepada pemimpin kaum muslimin. Allah dan RasulNya sangat memuliakan pemimpin kaum muslimin. Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa : 59).
Allah menegaskan dalam ayat ini tentang kedudukan pemimpin yang wajib untuk ditaati. Tentunya memuliakan yang sesuai dengan porsinya (tidak berlebih-lebihan). Dan ketika kita mentaati pemimpin kaum muslimin bukan karena urusan harta (dunia). Namun menaatinya karena perintah Allah dan RasulNya.
Suatu saat sahabat Nabi yang bernama Abu Bakrah RA pernah menghadiri pidato Al Khalifah ketika itu. Kemudian ada orang yang disampingnya berkata “Lihatlah kepada pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang-orang yang fasiq”. Kemudian melihat itu Abu Bakrah berkata “Diam kau”. Inilah sikap sahabat Rasulullah yang tidak mendiamkan kemungkaran, apalagi yang berkaitan dengan penguasa. Kemudian Abu Bakrah Ra membawakan suatu riwayat yang shohihah yaitu sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa memuliakan pemimpin kaum muslimin, Allah akan memuliakannya di dunia maupun di akhirat, dan barangsiapa menghinakan pemimpin kaum muslimin Allah akan menghinakannya di dunia ataupun di akhirat.”
Oleh karena itu ketika kita memuliakan pemimpin kita bukan karena urusan dunia melainkan karena lillahita’ala yang dimana ini merupakan perintah agama Allah dan RasulNya.
Ucapan ulama salaf terdahulu yang bernama Sahl bin Abdillah Al Tasturi Rahimahullah berkata “Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka masih mau memuliakan para umara’ dan para ulama. Jika kaum muslimin mau memuliakan dua golongan tersebut maka Allah akan memperbaiki urusan dunia dan akhirat mereka. Namun jika kaum muslimin sudah menghinakan, mencerca dan mencaci maki pemimpin kaum muslimin dan para ulama maka mereka telah merusak dunia dan akhirat mereka.”
Ini dikarenakan memuliakan pemimpin kaum muslimin adalah perintah Allah SWT. Jika kaum muslimin ingin jaya maka harus diperhatikan cara memuliakan pemimpin dan ulama.
Seorang Ulama abad ini, Asy Syaikh Utsaimin Rahimahullah berkata:
“Bertakwalah kalian kepada Allah di dalam memahami manhaj salaf (metode Ulama Salafus Saleh) dalam bermuamalah dengan pemerintah. Jangan menjadikan (wasilah) perantara kesalahan pemimpin untuk memprovokasi massa dan membenci pemimpin kaum muslimin. Yang demikian merupakan bentuk penyimpangan pada Al Quran dan As Sunnah. Ini adalah sumber kerusakan dan merupakan sumber fitnah yang terjadi di tengah-tengah manusia.”
Di dalam ucapan beliau ini terdapat petunjuk kepada kita semua agar dalam beragama secara khusus bermuamalah kepada pemimpin kaum muslimin mengikuti jejak para Salafus Soleh (Sahabat, Tabi’in dan Tabiut tabi’in). Tidak boleh akal-akalan dalam beragama.
2. Mendengar dan Taat kepada Pemimpin Kaum Muslimin pada Hal yang Ma’ruf (Hal-hal yang tidak Berbau Maksiat).
Allah berfirman dalam surat An Nisa: 59 “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ulama tafsir menjelaskan yang dimaksud Ulil Amri adalah ulama dan umara’. Ulama memerintah dalam urusan agama umara’ dalam urusan dunia. Intinya di dalam makna ulil amri adalah pemimpin kaum muslimin. Namun ketaatan kepada mereka adalah hal yang ma’ruf (bukan pada hal-hal maksiat). Karena dalam ayat ini Allah tidak mencatumkan kata-kata => atii’u ulil amri kata ulama tafsir itu menunjukkan ketaatan kepada pemimpin muslimin terikat ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Jika ada perintah pemimpin kaum muslimin harus ditimbang dengan perintah Allah dan perintah Rasul. Apakah sesuai atau tidak? Menyimpang atau tidak. Jika tidak menyimpang wajib untuk mentaati mereka. Tapi jika menyimpang maka tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Rasulullah bersabda “ tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam memaksiati Allah Al Khaliq”
· Syubhat atau kerancuan berpikir yang beredar di kelompok-kelompok harokah yaitu syubhat yang mengatakan “kita wajib mendengar dan taat kepada pemimpin kaum muslimin jika dipilih melalui jalur yang syar’I”.
Para ulama menjelaskan bahwa selama pemimpin itu muslim dan dia telah berkuasa bagaimanapun cara dia menggapai kepemimpinan tersebut secara syar’I atau tidak syar’I wajib untuk didengar dan ditaati perintahnya (dimuliakan) dan wajib diakui kepemimpinannya.
Dalil yang menjelaskan hal tersebut adalah sabda Rasul “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah mendengar dan taat kepada pemimpin kaum muslimin meskipun pemimpin kalian dari budak Etiopia.”
(Catatan : ―secara asal kata para ulama ―pemimpin / al khalifah harus dari Quraisy). Rasul bersabda “Pemimpin tertinggi Al Khalifah harus dari Quraisy”. Kata para Ulama syarat menjadi khalifah harus dari bangsa Quraisy. Akan tetapi jika ada budak Etiopia secara asal tidak sah diangkat menjadi khalifah. Namun jika resmi diangkat jadi pemimpin maka harus taat. Budak Etiopia ini secara asal tidak sah dan tidak syar’I mencalonkan diri sebagai khalifah, namun jika berhasil menjadi pemimpin kaum muslimin wajib didengar dan ditaati).
Perkataan Ulama Imam Al Barbahari dalam kitab Syarhus Sunnah “Barangsiapa yang telah berkuasa menjadi khalifah dengan kesepakatan manusia dan dengan keridhoan mereka maka dia adalah amirul mukminin. Dan tidak boleh seorangpun untuk berpendapat tidak boleh ada pemimpin saat itu atau dia tidak mengakui kepemimpinannya.”
Perkataan Imam Ahmad dalam Kitabnya Ushul Sunnah “Barang siapa yang mengkudeta atau menumpahkan darah pemimpin kaum muslimin kemudian dia menggapai kekhalifahan dan dia dinamakan sebagai amirul mukminin, maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk dia tidak mengakui kepemimpinannya baik orang itu yang baik ataupun yang fajir.
Ucapan Ulama Ahlus Sunnah sepakat mengatakan “bagaimanapun cara pemilihan pemimpin kaum muslimin baik yang syar’I ataupun tidak syar’I wajib bagi kaum muslimin untuk mentaatinya.”
Berdirinya kekhalifahan Abbasiyah yang dipelopori oleh Abul Abbas As Syafa’, dia berhasil menjadi khalifah Abbasiyah yang pertama dengan kudeta (pertumpahan darah). Para ulama tidak ada yang mendukung pertumpahan darah tersebut, namun ketika dia diangkat menjadi khalifah, para ulama sepakat mengakui kekhalifahannya dan menghormatinya serta mendengar perintahnya.
· Syubhat yang muncul dari kelompok Khawarij “Yang wajib kita untuk kita dengar dan taati adalah pemimpin yang berhukum dengan hukum Islam. Yang tidak berhukum dengan hukum Islam itu tidak ada kewajiban mendengar dan taat.”
Dalam kitab Shahih Bukhari Kitabul Ahkam dan Shahih Muslim Kitabul Imarah, Rasulullah bersabda “Akan muncul setelahku nanti pemimpin-pemimpin yang tidak berpegang dengan sunnahku, tidak mengikuti petunjukku. Dan akan muncul di tengah-tengah mereka, pemimpin berhati syetan dalam jasad manusia.” Lalu kemudian sahabat yang bernama Hudzaifah bin Yaman bertanya kepada Rasulullah “Ya Rasulullah, Apa sikapku jika mendapati pemimpin yang dzolim tersebut?” “Tetap engkau mendengar dan taati, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil. Dengar dan taati”
3. Bersabar Menghadapi Pemimpin yang Tidak Disukai
Presiden kita adalah manusia biasa. Mungkin ada dari kebijakan-kebijakan mereka yang tidak kita sukai secara pribadi atau secara syar’I (kebijakan mereka menyelisihi tuntunan Allah dan Rasul SAW). Menggapai keridhoan semua manusia itu adalah cita-cita yang tidak mungkin dicapai. Tentunya ada sikap dan kebijakan pemimpin kaum muslimin yang tidak kita sepakati.
Lalu kemudian apa sikap kita? Di tengah-tengah dahsyatnya dunia media massa (sosial dan maya) ini sangat berbahaya jika tidak didampingi dengan bimbingan agama dan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Kita mudah sekali berkomentar terhadap kebijakan baru lalu disusul dengan komentar-komentar lain yang semakin membuat rancu. Media seperti dua sisi yang bisa untuk yang baik atau yang jelek (menjadi senjata) apalagi dalam urusan yang besar (agama). Jangan kita gegebah dalam mengirimkan berita atau share video ceramah. Yang demikian harus kita waspadai apalagi jaman yang penuh syubhat dan syahwat seperti ini. Abdullah bin Mas’ud Ra mengatakan “ akan muncul perkara yang samar-samar (abu-abu) wajib bagi kalian untuk waspada. Lebih baik anda menjadi ekor kebenaran meskipun orang meremehkan ekor itu daripada menjadi kepalanya kesesatan.”
Jika antum share suatu berita atau ceramah atau makalah yang sesat dan menyesatkan ketika ribuan orang sesat karena makalah itu maka antum menanggung ribuan dosa orang tersebut. Maka wajib bagi kita untuk hati-hati dan intropeksi (jangan gegabah) dan tanyakan kepada yang “ahli” tentang kebenaran berita atau makalah atau ceramah tersebut. Ada syubhat atau tidakkah di dalamnya. Jangan terburu disebarkan dahulu, jangan mudah berkomentar. Lebih baik anda disebut orang yang gaptek daripada anda menyesatkan umat lewat teknologi. Disini kita wasath (pertengahan) tidak mengharamkan dan juga berlebih-lebihan. Nabi SAW bersabda “Diantara kebaikan seseorang meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat”. Masih banyak hal-hal yang perlu kita kerjakan untuk memperjuangkan Islam dan kaum muslimin.
Hadist Nabi “Barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disukai dari pemimpinnya bersabarlah karena barangsiapa yang memisahkan diri dari barisan kaum muslimin kemudian dia mati maka dia akan mati dalam keadaan jahiliyah.
Barangsiapa yg memisahkan diri dari kelompok muslimin sejengkal lalu ia wafat, maka wafatnya adalah dalam keadaan matinya orang jahiliyah” (Shahih Bukhari hadits no.6724).
Adanya pemimpin yang dzolim akibat dari kedzaliman rakyat juga. Harus kita yakini bahwa adanya pemimpin yang dzolim dan tidak berhukum dengan hukum Allah itu adalah musibah. Dan musibah tersebut akibat dari dosa-dosa manusia (rakyat). Allah berfirman “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum : 41)
Jadi adanya pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah (Islam), adanya pemimpin yang KKN dan dzolim itu semua adalah musibah dan musibah itu adalah sebab-sebab dosa kita.
Imam Hasan Al Basri (Seorang Ulama Tabi’in ) berkata “Demi Allah seandainya manusia itu ditimpa musibah berupa pemimpin yang dzolim kemudian mereka bersabar maka Allah akan segera mengentaskan musibah tersebut dari mereka. Akan tetapi mereka lebih senang menghunuskan pedang (menumpahkan darah) maka mereka pun diserahkan kepada pedang mereka (tidak ditolong oleh Allah). Maka demi Allah jika mereka tidak bersabar maka mereka tidak bisa mendatangkan hari yang lebih baik dari sebelumnya.”
Jadi jika masyarakat tidak bersabar maka kerusakan lebih besar dari kedzoliman yang dilakukan oleh pemimpin. Dan inilah mungkin yang kita rasakan setelah era reformasi. Dulunya keamanan bisa dikatakan lebih terjamin daripada sekarang. Hadirnya reformasi yang katanya untuk memberantas korupsi apakah setelah reformasi selesai korupsi? Tidak, justru bergentayangan dimana-mana. Ketika reformasi muncul demonstrasi dimana-mana. Dan keamanan menjadi tidak terjamin lagi. Pembunuhan dan sebagainya lebih dahsyat, terorisme yang dulunya di bawah tanah namun sekarang muncul ke permukaan. Dan kelompok Syiah Rofidhoh tidak gentayangan seperti sekarang ini. Itu adalah akibat dari reformasi. Urusan dunia akhirat lebih jelek dari sebelumnya.
Ulama Ibnu Abil Ish al Hanafi Rahimahullah mengatakan “Mentaati pemimpin kaum muslimin meskipun mereka orang yang dzolim, itu dikarenakan jika kita memberontak (mengkudeta) maka kerusakannya lebih berlipat ganda daripara kedzoliman mereka. Bahkan jika bersabar menghadapi pemimpin yang dzolim itu sebagai penghapus dosa. Sesungguhnya Allah tidaklah menguasakan memberikan pemimpin yang dzolim kepada kita kecuali karena kedzoliman kita semua.”
Sesungguhnya jika kita perhatikan kedzoliman bukan hanya terjadi pada pemimpin tapi juga pada rakyat. Betapa banyak di pasar-pasar masyarakat banyak melakukan kedzoliman dengan timbangan-timbangan mereka. Jika dikatakan pemimpin kita tidak berhukum dengan hukum Allah, apakah rakyatnya juga berhukum dengan hukum Islam? Bahkan mereka yang mengkritik pemerintah untuk menegakkan syariat dengan berdemonstrasi―juga para wanita yang seharusnya di rumah pun ikut serta di dalamnya― apakah cara yang mereka pakai (berdemonstrasi) itu adalah berasal dari hukum islam? Bagaimana mungkin bisa tegak hukum Islam jika caranya demikian? Yang justru sejatinya ini adalah menghinakan hukum Allah.
Kemudian kata Imam Abil Ish al Hanafi “Jika kita ingin merubah pemimpin yang dzolim tidak ada jalan kecuali banyak-banyak kita beristighfar, taubat dan kembali kepada agama Allah yang haq. Jika rakyat ingin terbebas dari kedzoliman pemimpin yang dzolim wajib bagi mereka meninggalkan kedzoliman mereka.”
Dan itu semua itu dimulai dari diri mereka dahulu. Dan hal yang paling dzolim adalah syirik kepada Allah SWT. Selama rakyat masih berbuat syirik kepada Allah mana mungkin yang di atas (pemimpin) berhukum dengan hukum Allah. Karena dalam membangun suatu bangunan harus dimulai dari pondasi. Sehingga rakyat harus memperbaiki akidah dan tauhid mereka. Jika tidak demikian maka kita tidak bisa berharap adanya daulah Islam sedangkan rakyatnya tidak islami. Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka,” (Ar Raad : 11). Dari syirik kepada tauhid, dari bid’ah kepada sunnah dan dari maksiat kepada ketaatan.
Seperti saudara-saudara ikhwanul Muslimin di Mesir yang mengkudeta Husni Mubarak, diangkat pemimpin mereka Muhammad Mursi yang langsung membuat perombakan (reformasi). Dan apa yang terjadi? Ia pun juga dikudeta bahkan tidak sedikit dari para anggota mereka yang ditumpahkan darahnya. Pesan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah yang sangat penting untuk bahan renungan, mengatakan “Barangsiapa membangun rumah dari atapnya, atap itu akan jatuh ke atas kepalanya.”
Rasulullah SAW memperbaiki dan merubah keadaan manusia dimulai dari bawah (aqidah). Selama 13 tahun dakwah beliau untuk mengajarkan tauhid yang benar (mengesakan Allah dalam beribadah). Ketika Rasulullah ditawari kepemimpinan oleh orang Quraisy beliau menolak. Mengapa? Karena itu bukan jalan untuk reformasi. Seandainya itu baik maka Rasulullah akan menerima tawaran orang-orang musyrikin. Dan jalan yang terbaik merubah umat adalah dari aqidah.
4. Menasehati Pemimpin Kaum Muslimin
Pemimpin-pemimpin muslimin adalah manusia biasa yang pasti melakukan kesalahan, maka tugas kita bersabar. Namun bukan berarti bersabar diam dan pasrah begitu saja, ada hal-hal lain yang perlu kita lakukan (tentunya dengan dalil Al Quran dan Sunnah Nabi SAW). Kewajiban pemimpin kaum muslimin adalah menasehati pemimpin kaum muslimin yang sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Sunnah. Dalam sabdanya Rasulullah berkata “agama adalah nasehat”. Ketika ditanya “untuk siapa?” Rasul menjawab diantaranya adalah untuk pemimpin kaum muslimin. Dalam sabdanya yang lain Nabi berkata “ada tiga perangai yang hati kaum muslimin tidak ada kedengkian terhadapnya” diantaranya Rasul SAW mengatakan yaitu menasehati pemimpin kaum muslimin. Demikian ciri orang yang tidak ada hasad.
Menasehati adalah ibadah, dan kewajiban orang yang beribadah harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Tidak cukup hanya menasehati namun harus dengan cara yang baik yaitu mengikuti ajaran Nabi SAW. Di dalam sunnah Rasul ada cara khusus dalam menasehati pemimpin kaum muslimin yang tidak bisa disamakan dengan yang lain.
· Diantarannya ketika menasehati pemimpin muslimin harus dengan ucapan lemah lembut. Jangankan kepada pemimpin muslim yang paling dzolim sekalipun kepada pemimpin kafir pun Allah memerintahkan untuk menasehati dengan lemah lembut. Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk memperingatkan Firaun, Allah memerintahkan menasehatinya dengan lemah lembut. Allah SWT berfirman "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS. Thaha: 43-44).
· Menasehati pemimpin kaum muslimin harus secara rahasia. Tidak boleh di hadapan umum dan terang-terangan. Nabi SAW bersabda “Barang siapa yang memiliki nasehat untuk penguasa maka hendaknya ia tidak mengatakan kepadanya secara terang-terangan, namun hendaknya ia menggandeng tanganya dan menepi berdua. Jika ia mau menerima, maka ia menerimanya, jika tidak, maka orang tersebut telah melaksakan kewajibannya.”
Dan itu pula yang dipraktekkan oleh para Salafussholeh seperti kisah Usamah bin Zaid Ra. Ketika terjadi fitnah pada Khalifah Utsman bin Affan Ra, ada seseorang yang bertanya kepada Usamah bin Zaid Ra, “apakah engkau tidak ingin menemui Utsman bin Affan Ra untuk menasehatinya? Beliau berkata “Apakah jika aku menyampaikan nasehat kepada Utsman, aku akan menyampaikannya kepada kalian? Demi Allah aku telah menasehati Utsman Ra, aku menasehatinya secara rahasia (empat mata) dengan beliau. Dan aku tidak ingin membongkar nasehat tersebut, dan aku tidak ingin menjadi orang yang membuka pintu kejelekan.”
Syaikh Al Albani dalam mengomentari ucapan beliau, Usamah tidak mau menyebarkan aib nasehatnya terhadap Utsman sedangkan itu dapat membongkar dan membuka pintu-pintu kejelekan agar memprovokasi massa.
Syaikh Abdul Azis bin Baaz mengatakan “bukan termasuk manhaj salaf (sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in) menyebarkan aib pemerintah (pemimpin kaum muslimin) di atas mimbar-mimbar bebas karena itu akan menjerumuskan kepada pemberontakan dan kudeta. Dan akan menyeret kaum muslimin untuk tidak mendengar dan taat kepada pemimpin kaum muslimin. Namun metode yang dipakai salafus soleh adalah dengan menasehati dengan rahasia. Jika tidak bisa datang secara langsung maka melalui tulisan.”
5. Mendoakan Pemimpin Muslimin Dengan Kebaikan
Diantara cara kita merubah keadaan adalah mendoakan mereka dengan kebaikan. Hal ini yang telah dituntunkan dalam sabda beliau “Sebaik-baik pemimpin kalian yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian dan kalian mendoakan mereka dengan kebaikan mereka pun mendoakan kalian dengan kebaikan. Namun sejelek-jelek pemimpin yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian dan kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”
Kata Ulama di dalam hadist ini ada isyarat kewajiban kita adalah mendoakan pemimpin dengan kebaikan. Bahkan ini merupakan garis pemisah antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah dengan kelompok-kelompok yang sesat. Sebagaimana yang diutarakan oleh Al Imam Al Barbahari dalam Syarhussunnah. Beliau mengatakan “Apabila anda melihat seseorang mendoakan (melaknat) pemimpinnya dengan kejelekan maka ketahuilah dia pengikut hawa nafsu. Namun apabila anda melihat seseorang itu mendoakan pemimpinnya dengan kebaikan ketahuilah dia adalah pengikut sunnah Rasulullah SAW Insyaallah.”
Jadi yang demikian kata para Ulama adalah garis pemisah, jika kita ingin mengetahui antara kelompok yang haq dengan yang sesat salah satu caranya adalah dengan melihat apakah kelompok tersebut mendoakan pemimpinnya dengan kebaikan atau sebaliknya mendoakan dan melaknat pemimpin tersebut.
Bahkan Imam Ahmad dan Fudhail bin Iyaad berkata “Seandainya aku punya doa yang mustajab satu saja, aku akan tujukan kepada pemimpin kaum muslimin, Ketika ditanya mengapa demikian? “Jika doa itu untuk diriku maka manfaatnya untuk diriku saja namun jika untuk pemimpin kaum muslimin manfaatnya untuk pemimpin kaum muslimin semuanya.”
Mari kita doakan Bapak presiden kita diberikan taufik dan hidayah oleh Allah SWT untuk bisa berkhidmat bagi Islam dan kaum muslimin.
6. Tidak Boleh Memberontak kepada Pemimpin yang Muslim
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim Rasul bersabda “Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian mengenali mereka, kalian membenci mereka. Barangsiapa membencinya dalam hatinya maka ia telah selamat dari dosa. Akan tetapi yang berdosa yang ridho dan mengikuti kemungkarannya. Kemudian kata sahabat “apakah kami boleh memerangi mereka Ya Rasulullah?” tidak selama mereka masih muslim dan sholat.
Dalam riwayat yang lain dari Ubadah bin Shomin Ra berkata “Kami dahulu pernah berbaiat kepada Rasulullah SAW untuk taat kepada pemimpin kaum muslimin. Dalam keadaan kemudahan atau kesusahan, dalam keadaan malas atau semangat, kami mendahulukan hak pemimpin di atas hak kami. Dan kami dilarang memerangi pemerintah muslim kecuali kalian melihat pemimpin tersebut dalam kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti yang nyata di sisi Allah SWT.” Imam An Nawawi dan ulama lainnya ketika menyarah hadist ini mengatakan berdasarkan ijma’ Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengharamkan memberontak atau mengkudeta pemimpin yang masih muslim, bagaimanapun keadaannya.
Kata Ulama syarat bolehnya melengserkan mengkudeta/memberontak ada dua:
a. Pemimpin statusnya kafir (bisa murtad atau divonis ulama murtad).
b. Kaum muslimin harus punya kekuatan untuk melengserkannya. Dan tentunya kekuatan dalam suatu Negara dipegang oleh pemerintah (angkatan bersenjata). Jika tidak memiliki kekuatan maka bersabar.
7. Melaksanakan Sebagian Ibadah Bersama Pemimpin Kaum Muslimin
· Yaitu diantaranya berjihad melawan orang-orang (Negara) kafir. Hal itu harus ada komando dari pemimpin kaum muslimin bukan pemimpin jamaah pengajian. Yang berwenang dalam hal ini adalah Khalifah, Raja atau Presiden. Rasulullah bersabda “Imam Al Khalifah (pemimpin kaum muslimin) memerintahkan kalian berperang maka berangkatlah berperang”
· Melaksanakan sholat Idul Fitri dan Idul Adha berjamaah dengan pemimpin kaum muslimin. Di dalam Al Quran yang ada adalah mentaati pemerintah bukan ormas atau partai kaum muslimin namun pemimpin kaum muslimin.
Hal itu yang telah dicantumkan kitab-kitab Ahlus Sunnah Wal Jamaah seperti Syarah Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang ditulis oleh Imam Al-Lalika'I. Di dalam kitab tersebut disebutkan aqidah ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah seperti Imam Ahmad, Al Bukhari, Imam Sofyan Ats Tsauri. Imam Sofyan Ats Tsauri berkata kepada muridnya “ Ya Syuaib, tidak bermanfaat bagimu apa yang engkau tulis sampai engkau berpendapat disyariatkannya sholat bersama pemimpin yang dzolim ataupun yang baik.” Syuaib mengatakan “apakah sholat semuanya di belakang pemimpin kaum muslimin?” Kata Imam Sofyan Ats Tsauri “ Tidak, melainkan sholat jumat dan sholat Id.
Transkrip Ericca Nurdiana
Catatan : Terimakasih bagi pembaca yang sudah mengunjungi link ini. Jika ada yang kurang dipahami bisa mengecek langsung videonya atau kunjungi link berikut dengan tema yang sama namun narasumber yang berbeda. Semoga Allah senantiasa menunjukkan kepada kita jalan yang haq dan lurus (sesuai dengan pemahaman para Salafussoleh) dan terhindar dari syubhat dan pemikiran yang menyesatkan.
Diperbolehkan menyebarluaskan isi blog ini untuk kepentingan dakwah islam dengan syarat mencantumkan alamat blog, tidak mengedit konten tulisan dan bukan untuk tujuan komersial.
Diperbolehkan menyebarluaskan isi blog ini untuk kepentingan dakwah islam dengan syarat mencantumkan alamat blog, tidak mengedit konten tulisan dan bukan untuk tujuan komersial.
0 Komentar Untuk "Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Penguasa"
Post a Comment